Upah yang bermanfaat, tidak harus selamanya berupa uang. Namun bisa juga upah lainnya, yang jauh lebih bermanfaat dibandingkan uang. Upah apakah itu? Yuk, baca kisah Wan Abud, si saudagar kaya yang menjual guci, piring dan gelas keramik.
Dimuat di Kompas Anak Minggu, 3 Februari 2013
Upah yang Bermanfaat
Bambang
Irwanto
Wan Abud
adalah saudagar yang kaya raya. Ia berkeliling ke berbagai negeri untuk menjual
guci, piring dan gelas keramik. Walaupun kaya raya, Wan Abud tidak sombong dan
suka menolong orang lain.
Suatu ketika
Wan Abud berada di kota Jiaran. Sehabis berdagang di pasar, Wan Abud memutuskan
berjalan-jalan menyusuri kota Jiaran yang indah. Tiba-tiba seorang pengemis
menghampiri Wan Abud.
“Sedekah,
Tuan! Sudah dua hari saya tidak makan,” kata pengemis itu mengiba. Wajahnya
kucel dan pakaiannya kumal.
Wan Abud
segera membuka kantong uangnya dan mengeluarkan sekeping uang perak, lalu
memberikan kepada pengemis itu. “Belilah makanan!”
Pengemis itu
gambira. Ia mengucapkan terima kasih kepada Wan Abud dan berlalu pergi.
Wan Abud
meneruskan perjalanannya. Baru beberapa langkah, seorang pengemis lain datang
menghampirinya. Wajahnya tidak terlalu kucel, tetapi pakaiannya penuh dengan
tambalan. Pengemis itu juga meminta sedekah pada Wan Abud.
Wan Abud
kembali mengeluarkan kantong uangnya dan mengambil sekeping uang perak.
“Cepatlah beli makanan agar perutmu tidak sakit!”
Pengemis itu
mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, lalu berlari ke kedai nasi
Besoknya,
saat berjalan-jalan di pasar, Wan Abud melihat kedua pengemis itu sedang
meminta-minta. Wan Abud segera memanggil keduanya.
Kedua
pengemis itu menghampiri Wan Abud dan berharap mendapat sekeping uang perak
lagi.
“Apakah
kalian membantu aku berdagang selama sebulan?” tanya Wan Abud.
“Tentu saja
mau, Tuan!” jawab kedua pengemis itu hampir bersamaan.
“Baiklah!
Kalian bisa memilih upah yang akan kalian
terima. Apakah upah uang atau upah jasa.”
“Upah jasa?
Apa maksud, Tuan?” tanya seorang pengemis heran.
Wan Abud
tersenyum. “Maksud saya, saya tidak akan memberi kalian uang, tetapi mengajari
kalian cara membuat membuat guci, piring dan gelas keramik. Bagaimana? Apa
kalian mau?”
Kedua
pengemis itu termenung sejenak. Akhirnya pengemis pertama memilih upah uang,
sedangkan pengemis pertama memilih upah jasa.
“Kamu bodoh
sekali! Kenapa kamu memilih upah jasa?” kata pengemis pertama kepada pengemis
kedua.
“Aku ingin
pandai membuat keramik,” jawab pengemis kedua.
“Ah, itu
hanya alasan Tuan itu saja. Sebenarnya dia pelit dan tidak mau mengeluarkan
uang untuk upah kita,” balas pengemis pertama.
Esok harinya
kedua pengemis itu membantu Wan Abud. Sesuai perjanjian, setiap habis bekerja
pengemis pertama menerima dua keping uang perak, sedangkan untu pengemis kedua,
Wan Abud mengajarkan cara membuat keramik. Mulai dari memilih tanah liat yang
baik, membentuk keramik di atas meja putar, membakar keramik, sampai membuat
lukisan atau ukiran pada keramik.
Tidak terasa
sebulan telah berlalu. Wan Abud harus meninggalkan kota Jiaran untuk berdagang keramik
ke kota lainnya.
Dua tahun
kemudian, Wan Abud singgah lagi di kota Jiaran. Seperti biasa, setiap habis
berdagang Wan Abud berjalan-jalan menyusuri Kota Jiaran.
Ternyata
selama dua tahun, kota Jiaran mengalami perubahan yang sangat pesat. Banyak toko
yang indah dan megah berdiri.
Di sudut
jalan kota Wan Abud melihat sebuah toko keramik. Banyak sekali keramik indah
yang di pajang di etalase toko. Wan Abud memutuskan untuk masuk ke toko itu.
“Selamat
siang, Tuan! Apakah Tuan hendak membeli keramik?” sapa pemilik toko keramik
dengan ramah.
“Ah, apakah
Anda Tuan Wan Abud?” tanya Ali Mahmud, pemilik toko keramik itu.
Wan Abud
mengangguk sambil memperhatikan pemilik toko keramik itu dan segera
mengenalinya.
Ali Mahmud
adalah salah satu pengemis yang dua tahun lalu bekerja padanya. Kini wajahnya
bersih dan pakaiannya terlihat mahal. Ia sudah tidak kurus lagi.
“Ternyata
sekarang kamu sudah berhasil,” ujar Wan Abud.
“Semua
berkat Tuan mengajari saya membuat keramik. Beruntung dulu saya memilih upah jasa. Sampai sekarang upah
itu masih saya miliki. Coba seandainya saya dulu saya memilih upah uang, pasti
sudah habis.”
Wan Abud
tersenyum bangga. Ali Mahmud lalu menjamu Wan Abud dengan aneka makanan yang
lezat.
Mereka
berbincang-bincang saling bertukar cerita.
Menjelang
soro Wah Abud mohon diri. Saat keluar dari toko keramik Ali Mahmud, Wan Abud
melihat seorang pengemis duduk di pinggir jalan.
“Sedekah,
Tuan! Sudah dua hari saya tidak makan!” kata pengemis itu saat Wan Abud
melintas di depannya.Wan Abud membuka kantong uangnya dan mengambil sekeping
uang perak, lalu memberikan kepada pengemis itu.
“Terima
kasih, Tuan!” kata pengemis itu sambil mengangkat kepalanya.
“Mujihin?
Kenapa kamu masih jadi pengemis? Kamu gunakan untuk apa upah uang yang saya
berikan padamu?”
Mujihin
menunduk. “Upah uang itu sudah habis untuk makan, Tuan! Saya tidak bekerja
karena tidak mempunyai keterampilan apa-apa.”
Wan Abud
sedih mendengar cerita Mujihin.
“Bekerjalah
padaku lagi! Tapi kali ini aku tidak akan memberimu upah uang. Aku akan
memberimu upah jasa. Dengan upah jasa, kamu mempunyai keterampilan membuat
keramik yang bisa menghasilkan uang. Dengan uang yang kamu peroleh itu, kamu
bisa hidup layak dan tidak jadi pengemis lagi. Bahkan dengan keterampilanmu
itu, kamu bisa membantu orang lain,” nasihat Wan Abud.
Mujihin
mengangguk setuju.
Karena upah memang nggak selalu harus uang. Dengan kemampuan yang diajarkan pun bisa berupa upah. Bertahan lama. Dan bisa jadi bekal untuk masa depan.
ReplyDelete