Nenek Arita
Bambang Irwanto
Aku punya tetangga. Namanya nenek Arita. Beliau
tinggal sendirian, karena Kakek Ramlan, suami nenek Arita sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Tante Maurin, puteri
tunggal nenek Arita sudah menikah dan
tinggal di Jakarta bersama suami dan anaknya. Aku
belum pernah bertemu dengan Tante Maurin. Tapi nenek Arita pernah cerita, kalau
tante Maurin itu sangat cantik.
Walau sudah beumur 60 tahun, nenek Arita tetap sehat dan kuat. Nenek Arita masih bisa mengerjakan semua pekerjaan di rumahnya. Bahkan setiap
hari sabtu, nenek Arita suka berjalan kaki ke pasar di belakang kompleks
rumahku.
“Nek, apa rahasianya nenek masih
sehat dan kuat?” tanyaku suatu hari.
“Rahasianya selalu berolahraga,”
jawab nenek Arita. “Waktu masih muda, kita jangan malas berolahraga, karena
akan berakibat saat tua.”
Bila hari minggu, aku selalu bermain di
rumah nenek Arita. Aku paling senang membantu nenek Arita menyiram kebun
mawarnya. Sebagai upahnya, nenek Arita memberiku segelas susu cokelat dan
sepiring bolu cokelat panggang buatan nenek Arita. Ehm… lezatnya…
“Nenek nggak kesepian tinggal sendiri?” tanyaku sambil mencomot bolu
panggang cokelat yang masih hangat.. Tentu sepi sekali tinggal sendiri di rumah
sebesar ini.
Nenek Arita menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak, anak manis. Kan ,
ada kamu yang selalu menamani Nenek,” nenek Arita menjawil pipiku.
Tapi aku tahu, nenek Arita berbohong. Aku pernah melihat nenek Arita menangis sambil melihat album foto keluaraganya. Pasti nenek Arita rindu pada anak, menantu dan cucunya. Aku saja berpisah sehari dengan Papa mama, rasanya rindu sekali. Makanya aku belum bisa jauh dari papa dan mama. Padahal, umurku sudah 12 tahun .
Tapi aku tahu, nenek Arita berbohong. Aku pernah melihat nenek Arita menangis sambil melihat album foto keluaraganya. Pasti nenek Arita rindu pada anak, menantu dan cucunya. Aku saja berpisah sehari dengan Papa mama, rasanya rindu sekali. Makanya aku belum bisa jauh dari papa dan mama. Padahal, umurku sudah 12 tahun .
Siang itu, sepulang sekolah, aku melihat
Pak Pos berhenti di depan rumah nenek Arita. Pak Pos membawa bingkisan yang
cukup besar. Lama Pak pos mengetuk-ngetuk pintu rumah, tetapi nenek Arita tidak
keluar juga.
“Mungkin nenek Arita sedang ke mini market, Pak,”
kataku dari balik tembok yang memisahkan rumahku dengan rumah nenek Arita.
“Kalau begitu, boleh saya titip saja?”
tanya Pak Pos.
“Boleh, Pak. Nanti akan saya berikan pada Nenek Arita!” jawabku senang hati. Aku segera berlari ke rumah nenek Arita. Aku menerima bingkisan itu, lalu menulis nama di resi. Ternyata paket itu dari tante Maurin.
“Boleh, Pak. Nanti akan saya berikan pada Nenek Arita!” jawabku senang hati. Aku segera berlari ke rumah nenek Arita. Aku menerima bingkisan itu, lalu menulis nama di resi. Ternyata paket itu dari tante Maurin.
Tidak lama, aku melihat nenek Arita pulang
menenteng dua kantong kresek besar. Benar, nenek Arita ke minimarket berbelanja
kebutuhan bulanan.
Aku segera menyongsong nenek Arita. “Nek, ada paket dari Tante Maurin,” aku
menyerahkan bingkisan itu pada nenek Arita.
Nenek Arita membuka pintu lalu meletakkan paket itu di meja. Sepertinya nenek Arita tidak begitu senang
menerima bingkisan itu.
“Nenek tidak membuka paketnya?” tanyaku
berharap. Aku ingin sekali tahu apa isi bingkisan itu.
“Kalau Kinan ingin tahu isinya, buka saja!” kata nenek Arita.
Aku menatap Nenek Arita meminta
persetujuan. Nenek Arita mengangguk. Pelan-pelan aku merobek bungkus paket itu. Wah, isinya baju
hangat. Warnanya biru, merah dan kuning. Sangat halus. Harganya pasti mahal.
“Nenek nggak mencobanya? Nenek pasti terlihat cantik
memakai baju hangat ini.”
Nenek Arita menggeleng. “Setiap tahun
mereka memberi hadiah seperti itu. Nenek tidak perlu hadiah mereka. Nenek
mengharapkan kedatangan mereka,” kata nenek Arita.
Benar kan, dugaanku. Nenek Arita sangat rindu keluarganya.
Tiba-tiba aku mendapat ide. Diam-diam aku
menyobek alamat paket itu. Tidak apalah,
aku menolong nenek Arita.
Malamnya sebelum tidur, aku menulis sebuah
surat . Aku ceritakan
tentang
kerinduan nenek Arita pada tante Maurin.
Besoknya sepulang sekolah, aku mengajak
Raika ke kantor pos di dekat sekolah.
“Untuk apa kamu mengirimsurat . Sekarang kan , zamannya telpon dan
sms.” Tanya Raika.
“Untuk apa kamu mengirim
“Iya, sih. Tapi aku nggak punya pulsa untuk menelpon ke Jakarta. Lagian, aku nggak kenal dengan
Tante Maurin. Nggak enak kan, kalau aku tiba-tiba telpon.”
Raika keheranan. “Bagaimana kamu menulis surat pada orang yang
tidak kamu kenal. Apa isi suratmu itu? Jangan-jangan ini surat kaleng?”
Akhirnya aku menceritakan tentang nenek Arita padaa
Raika. Raika mengangguk mengerti. “Aku doakan, semoga usahamu berhasil, ya.”
ucap Raika.
Aku senang banget mendengar ucapan Raika itu. “Terima kasih, Raika!”
Seminggu telah berlalu. Tapi
tante Maurin belum mengunjungi nenek Arita. Apa suratku nggak sampai, ya?
Gumamku. Apa betul Tante Maurin sudah melupakan nenek Arita?
Ah, sebaiknya, aku nggak berprasangka buruk
dulu. Siapa tau aja, Tante Maurin lagi sibuk dan belum sempat membaca suratku.
Atau, bisa aja, suratku yang nggak sampai. Sebaiknya besok aku menulis surat
lagi, gumamku lagi.
Seminggu kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah nenek Arita. Seorang
bapak dan seorang Ibu keluar dari dalam mobil. Hey, ada anak kecil yang lucu.
Tampak nenek Arita terkejut melihat mereka. Lalu mereka saling berpelukan.
“Kinanti… kemari, sayang!” nenek Arita melambaikan tangan
padaku. Aku tersipu malu. Nenek Arita tahu, aku sejak tadi mengawasinya. Aku
segera menghampiri Nenek Arita.
“Kinan, ini Tante Maurin, Om Banu dan Raisa.. Ayo, kenalan!” Aku segera bersalaman dengan mereka. Benar kata nenek Arita. Tante Maurin itu
cantik sekali.
Nenek Arita Lalu mengajak kami masuk.
Aroma bolu cokelat panggang tercium. Pasti nenek Arita sedang membuat kue.
“Terima kasih ya, Kinan. Tante akan
merahasiakan suratmu itu,” bisik Tante Maurin pelan sebelum kami masuk rumah.
Aku tersenyum senang. Nenek Arita tidak butuh
semua barang mewah. Tetapi kasih sayang dan perhatian dari keluarganya.
Tiba-tiba aku kangen dengan Kakek dan
Nenekku juga.
“O iya, ini ada bingkisan buat
Kinan,” kata Tante Maurin sambil menyerahkan sebuah bungkusan untukku. Aku
segera membukanya. Wow... sebuah baju hangat motif rainbow. Keren sekali.
“Terima kasih, Tante Maurin!” ucapku gembira.
“Sama-sama, Kinanti!” jawab
tante Maurin
Kebahagiaanku bertambah dan hari
ini terasa lebih indah
0 Response to "Nenek Arita di Majalah GIRLS"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.