Oleh Bambang Irwanto
Amelia membuka lemari pakaian, lalu
mengambil mantel yang tergantung. Musim
dingin telah tiba. Udara di luar sangat dingin. Amelia harus memakai mantel
tebal bila berada di luar rumah.
“Ehm, sepertinya aku membutuhkan mantel baru,” gumam Amelia sambil menatap mantel berwarna cokelat yang sudah usang. Mantel yang terbuat dari bulu domba itu adalah hadiah dari Ibunya yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu.
“Ehm, sepertinya aku membutuhkan mantel baru,” gumam Amelia sambil menatap mantel berwarna cokelat yang sudah usang. Mantel yang terbuat dari bulu domba itu adalah hadiah dari Ibunya yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu.
Amelia memeriksa isi dompetnya. Hanya tersisa
beberapa keping uang logam. Uang itu hanya cukup untuk membeli sepotong roti
tawar, untuk persediaan makan malam Amelia nanti.
Ehm, tak apalah. untung sebentar siang gajian,
gumam Amelia sambil memasukkan dompet ke saku mantel dan bergegas mengenakan
mantel itu. Amelia melilitkan syal merah muda yang juga sudah usang ke
lehernya. Tidak lupa Amelia memakai sarung tangan tebal dan sepatu boot. Amelia harus segera pergi bekerja.
Salju turun begitu tebal. Amelia
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bibirnya bergetar menahan dingin.
Amelia mempercepat langkahnya menuju tempat kerja.
Setengah jam kemudian, Amelia sudah sampai
di toko roti Sedap Sekali. Sudah 4 tahun Amelia bekerja di toko roti milik
Nyonya Clara itu. Nyonya Clara sangat baik dan ramah. Amelia senang bekerja di sana .
Amelia bergegas menganti baju dengan
seragam kerja. Sebentar saja, Amelia sudah siap menerima pelanggan yang sudah
mengantri di depan toko. Dalam waktu sekejap, beberapa jenis roti sudah habis
terjual.
Tepat jam 10 pagi, seorang nenek masuk ke
toko roti Sedap sekali. Dia adalah Nyonya Liem, salah satu pelanggan setia toko
roti Sedap Sekali. Hampir setiap hari Nyonya Liem datang membeli roti.
“Selamat pagi, Nyonya Liem. Ada yang bisa saya bantu?”
tanya Amelia ramah. Amelia sudah sangat mengenal Nyonya Liem.
“Saya ingin membeli roti cokelat keju,
Amelia. Apa masih tersedia?” tanya Nyonya Liem.
“Wah, sayang sekali, Nyonya Liem. Roti itu
sudah habis dan baru besok dibuat lagi,” Amelia menjelaskan.
Memang selama musim dingin ini, toko roti
Sedap Sekali, hanya membuat Roti di pagi hari saja.
“Aduh, bagaimana, ya? Anak dan cucu saya akan berkunjung sore nanti. Mereka sangat menyukai roti cokelat keju itu,” Nyonya Liem gelisah.
“Aduh, bagaimana, ya? Anak dan cucu saya akan berkunjung sore nanti. Mereka sangat menyukai roti cokelat keju itu,” Nyonya Liem gelisah.
Amelia tak tega melihat kegelisahan Nyonya
Liem yang ramah dan baik hati itu.
“Nyonya tidak usah gelisah. Saya akan
membuatkan roti cokelat keju untuk Nyonya. Kebetulan hari ini saya bekerja
hanya sampai jam 1 siang.”
“Benarkah? Wah, kamu baik sekali, Amelia. Terima kasih, ya,” ucap Nyonya Liem gembira.
“Benarkah? Wah, kamu baik sekali, Amelia. Terima kasih, ya,” ucap Nyonya Liem gembira.
Amelia mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Kalau begitu, ini uang untuk membuat kue
cokelat keju, Amelia,” Nyonya Liem memberikan Amelia selembar uang senilai 10
dollar.
Amelia mengembalikan 5 dollar pada Nyonya
Liem.
“Apakah itu cukup, Amelia?”
“Apakah itu cukup, Amelia?”
“Cukup Nyonya,”
Nyonya Liem lalu pulang.
Amelia tersenyum. “Tak apa, Regina. Saya senang melakukannya,” jawab
Amelia.
Siang harinya, sebelum pulang, Amelia
bergegas menemui Nyonya Clara di ruang kerjanya. Amelia bermaksud mengambil
gajinya bulan ini.
“Duduklah, Amelia,” Nyonya Clara
menyambut hangat Amelia. Nyonya Clara memang sangat menyukai Amelia, karena ia
rajin bekerja dan jujur.
“Baik, Nyonya Clara,” Amelia duduk di
kursi di hadapan Nyonya Clara.
Nyonya Clara membuka laci meja kerjanya,
lalu mengambil sebuah amplop cokelat.
“Terimalah gajimu, Amelia.” Kata Nyonya
Clara sambl memberikan amplop itu pada Amelia. “Kamu telah bekerja dengan sangat baik, maka
aku memberimu bonus bulan ini.”
“Wah, terima kasih, Nyonya Clara,” ucap
Amelia gembira sambil menerima amplop itu. Setidaknya bila libur kerja, ia bisa
pergi ke pasar Rosella, untuk membeli mantel bekas yang masih layak pakai.
Amelia membuka amplop cokelat itu, lalu
menghitung jumlah gajinya. Tapi kok, jumlahnya kurang, gumam Amelia dengan
kening berkerut.
“Ya, saya terpaksa memotong gajimu, Amelia.
Bukankah kamu masih ada pinjaman beberapa minggu lalu.” Nyonya Clara seakan
tahu apa yang sedang dipikirkan Amelia.
Ah, iya, Amelia menepuk jidat. Tiga minggu lalu ia terpaksa berutang karena harus menganti atap rumahnya yang bocor.Berarti Ia masih harus bersabar untuk membeli sebuah
mantel. Setidak, mungkin gajian bulan depan.
“Benar, Nyonya Clara. Saya lupa,” Amelia tersipu malu. “Terima Kasih, Nyonya,” Amelia lalu pamit pada Nyonya Clara.
Ah, iya, Amelia menepuk jidat. Tiga minggu lalu ia terpaksa berutang karena harus menganti atap rumahnya yang bocor.
“Benar, Nyonya Clara. Saya lupa,” Amelia tersipu malu. “Terima Kasih, Nyonya,” Amelia lalu pamit pada Nyonya Clara.
Sebelum pulang Amelia mampir dulu ke toko
bahan kue, untuk membeli kebutuhan kue cokelat keju Nyonya Liem. Ternyata harga
bahan kue sudah naik semua. Amelia harus membayar lebih untuk membeli bahan-bahan
kue itu. Amelia tentu tak enak hati, bila harus meminta uang lagi pada Nyonya
Liem.
Ehm, biarlah. Mungkin saya bisa mengurangi
jatah membeli susu.
Sampai di rumah, Amelia segera membuat
kue. Ia tahu resep dan cara membuatnya.
Amelia pernah beberapakali membantu Nyonya Clara membuat kue cokelat keju.
Dua jam kemudian, kue cokelat keju sudah
siap. Amelia menukar bajunya. Ia bergegas mengantarkan kue cokelat keju itu ke
rumah NyonyaLiem.
“Aduh salju turun lebat sekali,” keluh
Amelia. “Bagaimana ini?”
Sejenak Amelia bimbang. Ia pasti sangat
kedinginan di luar. Tetapi ia sudah berjanji pada Nyonya Liem. Pasti Nyonya
liem dan keluargannya akan kecewa bila Amelia tak datang.
Akhirnya, Amelia memutuskan untuk ke rumah
Nyonya Liem. Udara sangat dingin. Bibir Amelia terlihat pecah dan kering.
“Amelia, akhirnya kamu datang juga,”
sambut Nyonya Liem gembira. “Ayo masuk!”
Amelia mengikuti Nyonya Liem menuju ruang
tengah. Di sana ramai sekali. Sudah berkumpul anak, menantu, dan cucu-cucu
Nyonya Liem. Amelia segera berkenalan dengan mereka.
Nyonya Liem membuatkan Amelia segelas cokelat
hangat. Badan Amelia terasa hangat. Apalagi di ruang tengah itu ada perapian.
Mereka lalu berbincang. Ternyata hari ini Nyonya Liem ulang tahun.
“Nyonya Liem, maafkan saya. Saya tidak tahu,
kalau hari ini Anda berulang tahun,” kata Amelia. “Saya tidak membawa kado
untuk Anda.”
Nyonya Liem tersenyum lembut. “Tidak
apa-apa, Amelia sayang. Kamu sudah bersusah payah membuat dan mengantarkan kue
cokelat keju itu ke sini,” kata Nyonya Liem.
Amelia terharu. Sudah lama ia merindukan
belaian kasih sayang seorang Ibu.
“Saya
punya hadiah untuk Mom,” Nona Linda
memberikan sebuah kado kepada nyonya Liem.
“Saya juga mempunyai kado istimewa
untukmu, Mom,” Nona Lane
tidak mau kalah.
“Wah, rupanya kalian menyiapkan kejutan
untukku. Terima kasih, Sayang,” seru Nyonya Liem lalu mengecup satu-satu kening
Puterinya. Nyonya Liem lalu membuka kado-kado itu.
“Wow… Kenapa hadiah kalian sama?” tanya
Nyonya Liem sambil memegang dua mantel berwarna biru dan terbuat dari bulu
domba yang lembut.
Linda dan Lane saling berpandangan, lalu tertawa bersama.
“Jadi, kamu juga membelikan mantel yang sama untuk, Mom, Lan?” tanya Nyonya Linda pada adiknya.
Linda dan Lane saling berpandangan, lalu tertawa bersama.
“Jadi, kamu juga membelikan mantel yang sama untuk, Mom, Lan?” tanya Nyonya Linda pada adiknya.
“Ya, karena mantel itu sudah lama diinginkan
Mommy,” jawab Lane geli.
Semua tertawa karena kelucuan yang tak
terduga itu.
Amelia berbincang sejenak, sebelum akhirnya ia
pamit. Salju masih turun dan ia tidak mau kemalaman tiba di rumah.
“Terima kasih, atas bantuanmu ya, Amelia.
Kue cokelat keju buatanmu, jauh lebih enak daripada yang di jual di toko,” puji
Nyonya Liem.
Amelia tersipu malu. Ia bergegas mengambil mantelnya yang disangkutkan
di dekat ntu masuk.
Sreeet… Amelia terlalu terburu-buru.
Mantel miliknya robek sepanjang 10 sentimeter di bagian dada.
“Aduh,… mantelku,” seru Amelia sedih. Ia
pasti akan bertambah kedinginan dengan mantel yang berlubang itu.
“Apa kamu tidak mempunyai mantel lain
Amelia?” tanya Nyonya Liem
Amelia menggeleng sedih. Nyonya Liem ikut
iba.
“Bagaimana kalau mantel yang satu ini kita berikan pada Amelia,” ucap Nyonya Liem tiba-tiba.
Semua setuju. Amelia tidak percaya mendapatkan mantel baru. Rasanya seperti mimpi. Kebaikan Amelia, akhirnya berbuah sesuatu yang indah.
“Bagaimana kalau mantel yang satu ini kita berikan pada Amelia,” ucap Nyonya Liem tiba-tiba.
Semua setuju. Amelia tidak percaya mendapatkan mantel baru. Rasanya seperti mimpi. Kebaikan Amelia, akhirnya berbuah sesuatu yang indah.
Malam itu Amelia tidur nyenyak. Ia
mendekap erat mantel barunya. Amelia percaya, Ibunya ikut bahagia di surga sana.
dimuat di Kumpulan Dongeng Pustaka Ola
0 Response to " Hadiah untuk Amelia"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.