Penulis juga harus punya
modal.
Bukan pedagang saja, yang mau jualan yang punya modal.
Bukan pedagang saja, yang mau jualan yang punya modal.
Lalu apa saja ya, modal menulis saya?
Yuk, disimak. Sesuai dengan pengalaman saya menulis.
Semangat
Pertama, semangat. Semangat itu modal utama saya menulis. Kalau tidak semangat menulis, sejuta ide keren
juga akan sia-sia.
Ketemu ide mantap dan unik, tapi malas eksekusinya, kan sama saja. Akibatnya, keduluan orang lain.Nangis deh, guling-guling di bawah pohon tauge.Lalu posting status galau melow, biar satu dunia tau hehehhe...
Ketemu ide mantap dan unik, tapi malas eksekusinya, kan sama saja. Akibatnya, keduluan orang lain.Nangis deh, guling-guling di bawah pohon tauge.Lalu posting status galau melow, biar satu dunia tau hehehhe...
Makanya saya menempatkan
semangat diurusan pertama. Kalau sudah semangat, dijamin proses menulis menjadi lancar. Dari semangat mengolah ide, semangat menulis cerita, semangat mengirim naskah,
sampai terus bersemangat menulis lagi kalau naskah kita ditolak. Terus kobarkan semangat membara di dalam dada.Api olimpiade, atau api sea games sih, harus lewat hehehe
Nah, kalau kita terus
semangat menulis, menulis, dan menulis, dijamin hasilnya lebih bagus.
Menulis jadi candu yang menyenangkan. Sehari saja tidak menulis, rasanya rindu berat. Kayak syair lagu dangdut itu hahahha...
Menulis jadi candu yang menyenangkan. Sehari saja tidak menulis, rasanya rindu berat. Kayak syair lagu dangdut itu hahahha...
Perangkat Menulis
Kemarin saya sudah menulis,
modal utama seorang penulis adalah semangat.
Nah, selanjutnya modal apa lagi yang diperlukan penulis, ya?
Nah, selanjutnya modal apa lagi yang diperlukan penulis, ya?
Saya pribadi menempat
perangkat menulis jadi modal kedua seorang penulis.
Kalau kita tidak ada komputer, netbook, atau laptop, lalu bagaimana caranya kita mengeksekusi ide?
Walau sekarang bisa menulis pakai hape atau tab, tapi menurut saya, lebih bagus naskah ditulis pakai komputer atau laptop, atau setidaknya netbook. Hape saya gunakan untuk menyimpan ide-ide yang saya temukan secara tiba-tiba, dan saat saya berada di luar rumah. Sedangkan tab, saya gunakan untuk menulis cerita sementara. Misalnya saat saya sedang tiduran santai di depan televisi. Bahasa kernenya, santai kayak di pantai hehehhe...
Kalau kita tidak ada komputer, netbook, atau laptop, lalu bagaimana caranya kita mengeksekusi ide?
Walau sekarang bisa menulis pakai hape atau tab, tapi menurut saya, lebih bagus naskah ditulis pakai komputer atau laptop, atau setidaknya netbook. Hape saya gunakan untuk menyimpan ide-ide yang saya temukan secara tiba-tiba, dan saat saya berada di luar rumah. Sedangkan tab, saya gunakan untuk menulis cerita sementara. Misalnya saat saya sedang tiduran santai di depan televisi. Bahasa kernenya, santai kayak di pantai hehehhe...
Aduh, tidak ada uang Mas,
buat beli komputer atau laptop.
Kembali semangat menulis
kita diuji.
Jangan hanya karena masalah ini, lalu tidak menulis.
Ingat, saya menulisnya harus "ADA" perangkat menulis. Bukan harus "PUNYA" perangkat menulis.
Jadi kalau belum bisa beli, usahakan ke jasa rental atau warnet.
Kalau ada laptop atau saudara 'nganggur', boleh minta izin dipakai.
Yang penting terus menulis.
Jangan hanya karena masalah ini, lalu tidak menulis.
Ingat, saya menulisnya harus "ADA" perangkat menulis. Bukan harus "PUNYA" perangkat menulis.
Jadi kalau belum bisa beli, usahakan ke jasa rental atau warnet.
Kalau ada laptop atau saudara 'nganggur', boleh minta izin dipakai.
Yang penting terus menulis.
Jangan biarkan ide-ide keren kita menguap begitu saja.
Bahkan bisa jadi semangat untuk terus mengirim naskah ke media atau penerbit.
Agar hasilnya bisa beli netbook, komputer atau laptop.
Bukan masih banyak jalan menuju Roma? Bukan rumahnya Bang Haji Rhoma, ya hehehhe...
Sekali lagi, ya.
Jangan sampai galau, dan berhenti menulis karena tidak ada perangkat menulis.
Karena semua pasti ada jalannya.
Kalai kita berusaha, pasti Tuhan membuka pintu lebih lebar.
Jangan sampai galau, dan berhenti menulis karena tidak ada perangkat menulis.
Karena semua pasti ada jalannya.
Kalai kita berusaha, pasti Tuhan membuka pintu lebih lebar.
Saya pun begitu.
Memulai dari bawah dan angka 0 (bukan iklan pom bensin, ya hehehhe...)
Dari menulis di buku tulis, pakai mesin tik, komputer rakitan mangga dua, lalu dapat hadiah ultah netbook dari adik, sampai bisa beli laptop dari hasil menulis.
Memulai dari bawah dan angka 0 (bukan iklan pom bensin, ya hehehhe...)
Dari menulis di buku tulis, pakai mesin tik, komputer rakitan mangga dua, lalu dapat hadiah ultah netbook dari adik, sampai bisa beli laptop dari hasil menulis.
Saya jadi ingat ucapan Teh
Melly Guslow di televisi.
Saya ini dari Nol. Dari tidak punya apa-apa, sampai punya, lalu punya, dan punya lagi.
Saya ini dari Nol. Dari tidak punya apa-apa, sampai punya, lalu punya, dan punya lagi.
Banyak Membaca
Modal ketiga seorang penulis
adalah banyak membaca. kalau mau jadi penulis, wajib hukumnya suka membaca. Makanya yang suka menulis itu pasti suka membaca, tapi yang suka membaca, belum tentu suka menulis.
Dengan banyak membaca, maka
referensi kita akan bertambah, imajinasi kita terus berkembang. Kita akan lebih lincah mengolah kata, merangkai kalimat, sampai akhirnya menjadii cerita yang enak dibaca.
Buku saya cuma sedikit, Mas?
Jangan galau. Semua bisa dicari solusinya.
Kalau di tempat teman-teman ada perpustakaan, manfaatkan fasilitas itu.
Dulu, saya selalu menyediakan waktu ke perpustakaan. Saya bahkan jadi anggota perpustakaan, agar saya bisa meminjam buku, dan membacanya di rumah.
Seorang penulis yang memang niat menulis, tidak akan pelit membeli buku. Kenapa? karena buku itu 'Amunisi' penulis. Selain mendapat bacaan baru, kita juga akan mendapat ide-ide untuk tulisan kita. Ibaratnya, membeli buku tidak akan rugi. Kita membeli buku harga segini, maka kita harus menghasilkan 10 kali lipat dari harga buku. Kita juga bisa melihat alamat terbaru penerbit. Juga mempelajari cerita yang cocok dan disukai oleh penerbit.
Menurut saya, penulis juga harus rutin membeli media baru. Baik itu Koran, tabloid, atau majalah. Tidak salah sih, membeli media bekas. Tapi menurut saya kurang efisien. Kenapa? Bisa saja kantor redaksinya sudah pindah, alamat emailnya ganti, dan sebagainya. Akhirnya, banyak yang galau saat naskah yang dikirim tidak ada kabar, atau tidak dimuat. padahal, emailnya salah saat kirim naskah.
Makanya usahakan secara berkala membeli media baru. Dengan begitu, kita secara tidak langsung akan mengenali karakter medianya, dan lebih mudah menyesuaikan tulisan kita yang cocok untuk media itu. Jadi tidak seperti membeli kucing dalam karung. Perlu diingat, naskah yang ditolak itu, bukan karena tidak bagus. Bisa saja kurang sesuai.
Nah, itulah 3 modal utama saya menulis, yang terus saya pertahankan sampai saat ini. Bila teman-teman cocok, bisa diterapkan pada diri teman-teman. Insya Allah hasilnya bisa maksimal.
Tapi perlu diingat, proses menulis itu bukan instan, seperti membuat mie rebus atau mie goreng instan yang sekali buat, langusng bisa dinikmati. Menulis adalah sebuah proses. Jadi nikmati semua proses dengan enjoy. Karena di setiap proses menulis, ada pelajaran.
Ayo, terus menulis.
Salam semangat menulis, teman-teman...
0 Response to "Modal Menulis Saya"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.