Pura-Pura...
Bambang Irwanto
Butir-butir keringat turun deras membasahi
wajah Rafael. Sebentar-bentar, ia
menoleh kebelakang. Ternyata Rindu dan Santi masih berlari mengejarnya.
Rafael mempercepat
larinya menuju parkiran Mall. Sejenak Rafael bingung mau sembunyi di mana. Cowok
cakep berambut ikal itu tersenyum, saat melihat pintu sebuah sedan terbuka. Tampak
pemiliknya lagi sibuk memasukkan belanjaan ke bagasi mobil. Hup, secepat Kilat
Rafael masuk ke dalam mobil dan berjongkok di bawah depan jok belakang.
Sip..Sekarang gue aman, gumam Rafael lega.
Bum... terdengar
cowok itu menutup bagasi. Ia lalu membuka pintu kiri depan mobil, lalu
menghempaskan tubuhnya di jok kemudi.
Sambil
bersiul, cowok itu memasukkan kunci kontak lalu menyalakan mesin. Sebelum jalan
ia membetulkan kaca spion yang ada di atas kepalanya.
“Wah... Elo
siapa?” cowok itu nyaris berteriak saat melihat bayangan Rafael di jok belakang.
Cepat-cepat
Rafael menaruh telunjuk kanan dibibirnya, isyarat agar cowok itu diam. Telunjuk
kiri Rafael lalu menunjuk-nunjuk keluar mobil, pada Rindu dan Santi yang masih kebingungan
mencarinya. Cowok itu mengangguk mengerti.
“Rafael
kemana, sih? Cepat banget hilangnya kayak jin. Lo yakin, tadi Rafael lari ke
parkiran” tanya Rindu.
“Yakinlah.
Mata gue belum rabun, Non!” tukas Santi. “Cabut aja, yuk! Besok juga ketemuan
di sekolah.”
“Oke deh,”
jawab Rindu. Sebenarnya cewek cantik berkulit putih itu masih penasaran dengan
Rafael yang lenyap begitu saja.
Rafael
menarik nafas lega. “Tengs ya, udah nolongin gue,” Rafael duduk di jok
belakang.
“Tapi lo
bukan rampok atau geng motor kan?”
Rafael
cengegesan. “Bukanlah. Gue cuma numpang doang di mobil lo untuk menghindari
Rindu.”
“Emang
kenapa dengan tuh cewek-cewek?”
Rafael
menarik nafas. Sebenarnya dia paling malas cerita masalah pribadinya. Apalagi
dengan orang yang tidak dia kenal. Tapi biar gimana juga, nih cowok sudah
nolongin dia. Maka mengalirlah cerita rafael sederas anak sungai Mahakam.
“Oh... jadi
gitu ceritanya,” cowok itu mengangguk mengerti.
“Padahal udah
jelas-jelas gue nolak si Rindu. Tapi tetap aja dia ngejar-ngejar gue,” keluh
Rafael. “Gue pengin lepas dari dia.”
“Kasian juga
ya, lo. Hidup lo jadi ga bebas.”
“Tul banget.
Gue kayak burunan KPK aja. Kemana pun gue pergi, selalu dikejar-kejar,” Rafael
terkekeh.
“Jadi sampe
kapan lo mau di dalam mobil gue?” canda cowok itu.
“Eh, iya.
Sorry Bro. Tengs atas bantuannya. O iya, kenalin, gue...”
“Rafael,
kan?” sambar cowok putih itu.“Tadi Rindu udah nyebutin nama lo.”
Rafael
cengegesan. “Nama lo...?” Rafael mengulurkan tangannya.
“Gue Damon,”
Damon menjabat tangan Rafael.
“Oke, ya.
Gue cabut dulu,” Rafael membuka pintu pintu.
“Eh, lo tinggal
di mana?” tahan Damon.
“Gue di
Cempaka Putih,” kata Rafael.
“Wah... gue
di Rawamangun. Lo mau bareng?”
“Boleh?
Kebetulan motor gue lagi dipinjam abang gue pulang kampung,” Rafael gembira
dapat tumpangan gratis.
***
“Rafael....”
Terdengar
suara cempereng memanggil Rafael. Rafael menoleh dan melihat Rindu berlari-lari
kecil menghampirinya. Rafael langsung lemas.
“Kanapa,
Rin?” tanya Rafael basa-basi.
“Kemarin
kamu kemana, sih? Kayak Jin aja menghilang begitu saja,” suara Rindu terdengar
manja.
“Oh, kemarin
gue harus buru-buru pulang. Abang gue minta ditemani jalan,” alasan Rafael.
“Kita jalan
yuk!” ajak Rindu.
“Ehm, gue
harus langsung pulang. Mau ngantar nyokap.”
“Masa tugas
lo ngantar-ngantar mulu. Kemarin abang lo, sekarang nyokap lo. Lo itu nyambi
jadi ojek ya? Sekali-kali jalan sama gue kenapa sih?”
Rafael mati
kutu. Ia kehabisan alasan lagi. “Lain kali ya, Rin! Gue janji, lain kali aja.
Hari ini gue nggak bisa.”
Tiba-tiba
sebuah mobil berhenti di depan Rafael. Kaca mobil terbuka dan wajah Damon
nongol di jendela mobil. “Hei, Raf!”
Rafael
tersenyum senang melihat Damon. Kini ia punya alasan. “Udah ya, Rin! Gue udah
dijemput tuh,” Rafael menunjuk mobil Damon.
Rafael
bergegas menghampiri mobil Damon. Dengan enteng ia membuka pintu mobil dan
menghempaskan tubuhnya di jok.
“Tengs ya,
Mon. Lagi-lagi lo nyelamatin hidup gue!”
Hahaha...
Damon ngakak. “Biasa aja. Tapi bahaya juga ya, kalo lo terus-terusan gitu. Harus
dicari jalan keluar tuh.”
“Lo punya
ide untuk nolongin gue nggak?” tanya Rafael.
Damon
berpikir sejenak. “Ehm, bagaimana kalo ststs...” Damon membisikkan sesuatu ke
telingan Rafael.
“Wah, ide
bagus tuh. Boleh dicoba. Biar Rindu nggak ngejar-ngejar gue lagi hahaha...”
“Tos dulu
dong!” Damon menyediakan telapak tangannya. Rafael langsung menyambar.
***
Rindu
menangis tersedu-sedu di pundak Santi. Cewek hitam manis itu berusaha menghibur
Rindu.
“Hati gue
hancur banget, San,” kata Rindu di antara sedu sedannya.
“Iya, gue
tau. Kalo gue ada diposisi lo, gue juga akan hancur remuk kayak bubur.
“Gue kira,
kemarin Rafael ngajak gue jalan, karena dia udah nerima gue. Ternyata di mall
dia memperkenalkan gue dengan seorang cowok. Dan ternyata mereka pacaran,”
cerita Rindu.
“Lo yakin?
Siapa tahu mereka bersandiwara,” Santi masih tidak percaya. Rafael, cowok
paling oke dan macho di sekolah, ternyata cowok jadi-jadian.
“Giman gue
nggak percaya? Di hadapan gue mereka mesra gitu. Rafel lalu ngaku semua.
Makanya selama ini dia selalu menolak cinta gue.”
“Ih, sialan banget tuh, cowok. Harusnya dari
dulu dia bilang, biar lo nggak ngambang kayak gini. Padahal banyak banget cowok
yang antri pengin jadi pacar lo. Tapi lo harusnya bersyukur. Lebih baik lo
sakit sekarang, daripada sakit nanti kan?”
Rindu
mengangguk sambil menghapus airmata yang masih mengenangi mata indahnya.
“Eh...Rindu
kenapa menangis?” tiba-tiba Arlan menghampiri mereka.
“Tau, tuh.
Katanya perut Rindu sakit, karena udah lama pengin makan steak Majalaya,” jawab
Santi seenaknya. Rindu langsung melotot.
“Oh, kalo
cuma itu, lo nggak perlu nangis bombay, Rin. Pulang sekolah, gue traktir lo.
Gimana?”
Belum sempat
Rindu menjawab, Siska sudah nyambar duluan. “Iya, katanya Rindu mau. Pulang
sekolah lo samperin aja.”
“Gimana,
Rin?” Arlan ingin menegaskan.
“Oke, deh,
boleh,” Rindu mengangguk.
Arlan
tersenyum senang. Hatinya bagai terbang ke angkasa. Sudah lama ia menanti
kesempatan ini.
“Oke ya, sepulang
sekolah. Gue tunggu lo di gerbang sekolah.” Arlan lalu meninggalkan Rindu dan
Siska.
“Lo liat
kan? Satu cowok lepas, seribu cowok akan datang. Jadi Lo tenang aja.”
***
“Hahaha...
usaha kita berhasil, Mon,” Rafael tertawa keras.
Ia bahagia
karena akhirnya terlepas dari Rindu. Sebagai rasa terima kasihnya pada Damon,
ia mentraktir Damon makan pizza.
Damon
terkekeh hingga gigi-giginya yang berderet rapi terlihat.
“Berkat lo, sekarang
hidup gue bebas merdeka. Sekarang gue bisa mulai mengejar Marizka, cewek manis
yang udah lama gue incar, Mon.”
“Tapi...
“Tapi
kenapa, Mon?” kening Rafael berkerut.
“Gue suka
dengan sandiwara ini.”
Hahaha...
Rafael tertawa. “Sudah berakhir dan berakhir dengan happy ending.”
“Sebenarnya gue terlanjur suka sama lo,” kata
Damon pelan, tapi Rafael jelas mendengarnya.
“Apa. Jadi
lo..lo...” Rafael hanya mampu menunjuk ke arah Damon tanpa mampi meneruskan
kata-katanya.
“Ya, gue...
homo”
Rafael
langsung pingsan mendengar ucapan Damon itu.
0 Response to "Pura-Pura..."
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.