Saya suka menulis cerita tentang nenek. Ada beberapa cerita yang sudah saya tulis. Ada Nenek Arita di Majalah Girls, Nenek Badriyah, dan Jurus Menaklukkan Hati Nenek di Kompas Anak, Nyi Ringgi di Bobo, juga Aku Sayang Nenek di Majalah Halonanda Online.
Nah, kali ini saya akan posting cerita yang dimuat di Halonanda. Intinya, satu ide itu, bisa ditulis berbagai macam cerita. Yang penting, kita bisa mengolahnya dengan baik. Selamat membaca, teman-teman...
Aku Sayang Nenek
Oleh Bambang Irwanto
Sebenarnya aku tidak mau ikut ke rumah Nenek, tetapi Mama terus
memaksaku.
“Masa hanya kamu yang enggak ikut? Arlan dan Arleta saja akan ke sana. Kamukan ,
cucu Nenek juga,” kata Mama.
“Masa hanya kamu yang enggak ikut? Arlan dan Arleta saja akan ke sana. Kamu
“Mama bilang saja, kalau Faza lagi
bimbingan belajar,” ujarku.
“Kamu ini ada-ada saja. Sekarang kan , libur sekolah.
Nenek juga tahu,” jawab Mama sambil tersenyum.
“Sudah ganti pakaian sana ! Nanti kita terlambat sampai di rumah Nenek,”
Mama membulatkan Mata. Itu tandanya Mama tidak mau dibantah lagi Aku segera
menuju kamar.
Ya, mau bagaimana lagi. Aku terpaksa ikut.
Aku tidak mungkin tinggal sendiri di rumah. Bibi Ijah sedang pulang kampung
selama 2 minggu.
“Tapi kita jangan nginap ya, Ma,” pesanku.
“Iya…”
jawab Mama.
Perjalanan terasa lama dan membosankan. Padahal Nenek hanya tinggal dikota Depok. Perjalanan paling 1 jam dari rumahku
di Jakarta .
Apalagi sekarang libur dan jalanan tidak macet.
Perjalanan terasa lama dan membosankan. Padahal Nenek hanya tinggal di
“Senyum dong, Faz! Biar wajahmu kelihatan
ganteng,” goda Papa sambil melirikku dari kaca spion tengah mobil.
“Kalau Faza cemberut begitu, mirip si komi ya, Pa?” Mama ikut mengodaku. Komi itu ikan mas koki peliharaanku.
“Kalau Faza cemberut begitu, mirip si komi ya, Pa?” Mama ikut mengodaku. Komi itu ikan mas koki peliharaanku.
Papa dan Mama tertawa terbahak. Aku
tambah cemberut.
Akhirnya,kami sampai juga di rumah Nenek.
Ternyata Om Danu dan Tante Widya sudah sampai duluan. Dua sepupuku, Arlen
dan Arleta langsung menyambutku. Umur Arlan 9 tahun, sama dengan umurku.
Sedangkan umur Arleta 6 tahun.
“Katanya kamu enggak mau datang?” tanya
Arlen. Kemarin aku memang sudah menelpon Arlen
“Terpaksa,” jawabku.
“Iya, kami juga terpaksa ikut,” tambah Arleta.
“Iya, kami juga terpaksa ikut,” tambah Arleta.
“Kita main petak umpet di loteng rumah
Nenek saja,yuk!” Ajakku. Arlen dan Arleta setuju.
Kami lalu naik ke lantai dua rumah Nenek.
Kali ini giliran Arleta yang jaga. Aku sengaja bersembunyi di tempat jemuran.
Sedangkan Arlan bersembunyi di dekat mesin air. Tampak Aleta mulai kebingungan
mencari kami.
“Aduh…aduh… kenapa kalian bermain disini? Ayo, bermain di halaman
saja,” tiba-tiba Nenek datang dan memarahi kami.
Kami langsung berlari ke halaman belakang
rumah Nenek yang luas.
“Tuhkan , apa kataku. Nenek itu cerewet sekali,”
gerutuku. “Karena itu, aku malas kalau ke sini.”
“Iya tidak boleh begini, tidak boleh begitu,” tambah Arlan.
“Eh, bagaimana kalau kita manjat jambu saja,” usul Arlan. Aku setuju.
“Tuh
“Iya tidak boleh begini, tidak boleh begitu,” tambah Arlan.
“Eh, bagaimana kalau kita manjat jambu saja,” usul Arlan. Aku setuju.
“Tapi Nenek kan , melarang kita memanjat pohon jambu,” kata
Arleta.
“Yang dilarang itu kamu. Anak perempuan
tidak boleh manjat pohon,” kata Arlan pada adiknya.
“Iya. Sebenarnya Nenek pelit. Kita enggak boleh merasakan buah jambu yang manis,” Kataku sambil memungut jambu air yang jatuh, lalu memakannya. “Tuh, manis banget.”
“Iya. Sebenarnya Nenek pelit. Kita enggak boleh merasakan buah jambu yang manis,” Kataku sambil memungut jambu air yang jatuh, lalu memakannya. “Tuh, manis banget.”
Arlan dan Arleta ikut memakan buah jambu
yang jatuh. “Iya, manis sekali.
Jambu yang jatuh saja manis, apalagi yang
masih dipohon pasti segar sekali, pikirku.
Aku dan Arlan bersiap naik ke atas pohon jambu.
Arleta juga mau ikut naik.
“Eh,sudah dibilangin, anak perempuan di bawah saja.
Kamu bertugas mengawasi Nenek,” kata Arlan. Arleta mengangguk-angguk.
Baru sebentar kami naik, Arlan sudah
berteriak. “Faz, pohon jambu ini banyak semut merah. Ayo, cepat turun! Aku
mulai digigit.”
Aku merasa semut-semut mulai masuk ke
bajuku. Aku bergeggas turun. Tanpa sadar aku menginjak ranting yang sudah
rapuh. Bruuuukkkk…. Aku terjatuh.
“Aduh… tanganku sakit sekali,” jeritku.
Arleta segera berlari ke dalam rumah Nenek.
Tidak lama kemudian Nenek, Papa, Mama, Om Danu dan Tante Widya datang.
“Aduh, apa yang telah terjadi?” tanya nenek
panik.
“Faza jatuh dari pohon jambu, Nek,” jawab
Arlan ketakutan.
Nenek segera menyuruh Papa membawaku masuk ke rumah. Om Danu segera memanggil tukang urut.
Tanganku segera diurut. Rasanya sakit sekali. Aku sampai menjerit-jerit Manahan
sakit.
“Untung tanganmu hanya terkilir dan tidak
patah, Faz. Kamu sabar ya, Sayang!” kata Nenek sambil mengelus kepalaku.
Aku hanya mengangguk menahan sakit. Tetapi
aku senang, ternyata Nenek perhatian sekali padaku.
“Nenek kan ,
sudah melarang kalian. Di rumah memang, banyak peraturan. Nenek tidak ingin
Sesuatu terjadi pada kalian. Karena Nenek sangat sayang pada kalian
semua,”
“Kami juga sayang Nenek,” kataku. Arlan dan Arleta
merangkul Nenek.
Menjelang sore Papa dan Mama bersiap
pulang. Om Danu, Tante Widya, Arlan dan Arleta sudah pulang sejam yang lalu.
“Ma, aku kan , lagi libur. Aku mau menemani Nenek
saja,” kataku.
Mama tersenyum, lalu memandang Papa. “Pa, katanya tadi ada yang berpesan tidak mau menginap,” mama mulai mengodaku lagi
“Iya, siapa ya, Ma?” tambah Papa.
Mama tersenyum, lalu memandang Papa. “Pa, katanya tadi ada yang berpesan tidak mau menginap,” mama mulai mengodaku lagi
“Iya, siapa ya, Ma?” tambah Papa.
Aku hanya tersenyum malu.
0 Response to "Aku Sayang Nenek "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.