Bambang Irwanto
“Ita, kenapa kamu tidak mau diantar Bapak? Tanya Ibu.
Aku tidak langsung menjawab
pertanyaan Ibu, karena mulutku masih penuh dengan nasi uduk. ”Lebih baik, Ita
naik angkot saja, Bu,” jawabku.
”Jangan begitu dong, Ita!
Bapakmu sudah menunggumu di teras. Ayo, cepat habiskan sarapanmu!”
Akhirnya Bapak mengantar aku ke sekolah. Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku cemberut saja. Apalagi
ketika aku sampai di sekolah dan teman-temanku mulai mengejekku, bibirku jadi
maju lima sentimeter. Wajahku mungkin terlihat jelek sekali.
”Wah, si Ita diantar vespa antik lagi!” seru
Burhan menyambut kedatanganku.
”Bagaimana rasanya, Ta? Seperti
naik kereta kerajaan ya?” sela Dudi.
”Ih, Ita kayak Putri keraton,
dong!” tambah sella.
”Ta, sebaiknya vespa Bapakmu itu dimuseumkan saja,”
Tari ikut-ikutan juga mengejekku.
Wajahku jadi merah dan kupingku
jadi panas. Sekuat tenaga aku menahan tangisku dan langsung berlari masuk
kedalam kelas.
Sepanjang pelajaran hari ini,
aku tidak berkosentrasi samasekali. Tidak satupun pelajaran yang masuk ke
otakku. Berkali-kali aku
ditegur oleh Bu indah, karena terlihat melamun. Uuuhh.... semua gara-gara vespa
Bapak itu, gumamku kesal.
Sepulang
sekolah, aku langsung mengurung diri di dalam kamar. Aku masih kesal, karena tadi
di sekolah aku diejek teman-temanku. Uh, semua gara-gara motor vespa Bapak itu.
Padahal, aku sudah menolak, ketika Bapak
bermaksud mengantarku ke sekolah. Tapi Bapak tetap bersikeras. Malah Ibu ikut-ikutan membela
Bapak.
”Ita, kenapa kamu belum makan siang?” tanya Ibu.
”Ita lagi kesal Bu, karena diejek teman-teman
terus.” aku lalu bercerita kejadian di sekolah pada Ibu.
”Kenapa sih Bu, Bapak tidak membeli motor baru saja. Vespa bapak itu kan sudah tua sekali, malah sering
mogok melulu.”
Ibu tersenyum. ”Bapakmu pasti mempunyai alasan
sendiri. Nanti ya, kita tanya pada Bapakmu!”
”Pokoknya mulai besok, Ita tidak
mau diantar bapak lagi.”
Ibu mengelus rambutku dengan
lembut. ”Baiklah, kalau itu kemauan Ita. Sekarang kita makan siang dulu, yuk!”
ajak Ibu sambil menggandeng tanganku.
Hari minggu, Bapak mengajakku jalan-jalan. Tentu
saja aku senang sekali. Tapi tiba-tiba, aku memutuskan tidak jadi ikut dengan
Bapak. Sebabnya, Bapak dan aku akan pergi naik vespa antik itu. Ehm, lebih baik
aku dirumah saja. Aku tidak mau ada yang mengejekku lagi.
Sore harinya terjadi sebuah
kejutan. Bapak pulang membawa sebuah piala yang besar sekali. Aku langsung
menyambut Bapak.
”Darimana piala itu, Pak?” tanyaku penasaran.
Bapak tersenyum senang. ”Bapak
baru saja memenangkan lomba motor antik, Ta! Bapak dapat juara satu. Padahal jumlah
pesertanya sangat banyak. Ada seribu orang.”
”Wah, Bapak hebat!” aku
ikut-ikutan senang.
Ibu datang membawa nampan berisi
tiga gelas sirup dan sepiring pisang goreng. ”Sekarang Ita tahu jawabannya kan,
kenapa Bapakmu masih setia memakai vespa antik itu,” ujar Ibu.
Ibu lalu bercerita pada Bapak,
kalau aku sering malu karena vespa antik itu. Bapak hanya senyum-senyum saja,
lalu mengambil sebuah album foto dari laci bufet. Bapak memperlihatkan
album foto itu padaku. Ternyata isinya foto-foto Bapak dan Ibu waktu masih muda
dulu. ada juga foto-fotoku waktu masih bayi. Banyak juga foto-foto Bapak
bersama vespa antiknya itu.
”Walau sudah ketinggalan zaman,
tapi vespa antik ini sangat berarti dan berjasa bagi Bapak,” tunjuk Bapak pada
foto vespa antiknya. ”Vespa antik ini
dengan setia menemai Bapak, dari masa Bapak sma, kuliah, hingga Bapak bekerja
sekarang. Vespa ini juga yang Bapak pakai mengantarkan Ibu ke bidan, sewaktu Ibu hendak
melahirkan kamu. Bahkan sekarang masih dipakai mengantar kamu ke sekolah,
menuntut ilmu agar menjadi anak yang pandai. Nah, sejarah dan kenangan itu yang
tidak bisa digantikan oleh apapun!” kata Bapak.
Aku mengangguk. Kini aku mengerti. Vespa antik
itu juga sangat berjasa padamu.
”Tapi mulai besok, Ita tidak
perlu takut lagi diejek oleh teman-teman,”
”Memangnya kenapa, Pak?” tanyaku heran.
”Selain dapat piala, Bapak juga
dapat uang limabelas juta. Jadi, besok Ita temani Bapak beli motor baru, ya! Bahkan,
Ita yang pilih model dan warna motornya.”
”Asyiiiiiik....!” teriakku girang.
”Lalu bagaimana dengan vespa antik Bapak itu?”
”Tentu saja Bapak akan merawatnya
dengan baik dan jadi kenang-kenangan bagi kita.”
Aku bahagia sekali. Dalam hati aku
berterima kasih pada vespa antik Bapak itu. Memang benar, tidak selamanya
barang tua itu tidak ada harganya. Bahkan nilainya bisa lebih besar dari apa yang kita kira.
0 Response to "Vespa Antik Bapak"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.