Bambang Irwanto
Sore hari.
Aku sedang menikmati senja. Dari tempatku duduk, langit tampak kemerahan di
ufuk barat pantai Losari, pantai yang berada di bibir kota Makassar.
Berlahan-lahan, tampak Sang surya mulai tenggelam. semilir angin laut berhembus
menerpa wajahku. Di kejauhan, tampak beberapa sampan nelayan menyusuri birunya
laut. Sangat menyejukkan hati.
Tiba-tiba saja,
pandanganku teralih pada sosok mungil di sudut kafe. Dari kejauhan ia tampak
manis dengan rambut hitam bergelombang melewati bahu. Tapi aku merasa, wajahnya tertutup kabut muram. Dia
juga sedang menikmati senja. Namun apakah dalam suasana berbeda?
Ini untuk
kesekian kalinya, aku melihatnya di Kafe Pelangi ini. Mulanya, aku
mengacuhkannya saja. Toh, bukan hanya dia yang duduk menikmati senja pantai
Losari. Aku cuma meliriknya sekilas, lalu melirik beberapa kali. Lama-lama, aku
jadi sering memperhatikannya. Entahlah, apa karena wajahnya mirip Prita,
perempuan manis dan tinggi semampai yang
pernah singgah dalam hatiku.
Seorang
pelayan kafe menghampiriku. Dia segera meletakkan secangkir kapucino yang
asapnya masih mengepul.
“Dia itu
judes, Mas,” kata pelayan kafe setengah berbisik, tanpa aku tanya. Pasti
pelayan kafe ini mengamati memperhatikan perempuan itu, tebakku. Sekilas aku
melirik papan namanya. Anshar.
“Judes
bagaimana?” Keningku berkerut.
“Tidak
pernah tersenyum. Mentang-mentang orang kaya. Dia pemilik supermaket di ujung
jalan sana,” mataku mengikuti telunjuk Anshar.
Ehm, aku
menarik napas. Orang kaya sombong itu biasa dan wajar, gumamku.
“Terima
kasih infonya,” kataku.
Anshar mengangguk lalu bergegas meninggalkanku.
***
Akhirnya
aku menemukannya, setelah beberapa kali dengan sengaja ke supermaket Sehati.
Saat
sedang menyusuri rak buah, aku melihatnya sedang berdiri di depan buah-buah
apel yang sangat segar. Dengan rasa percaya diri, aku menghampirinya.
“Hei,
rasanya kita pernah bertemu,” aku memberanikan diri menegurnya saat mata
belonya melirik padaku.
Reflek ia
menoleh padaku, namun tidak ada senyuman di wajahnya “Oh ya, di mana?”
“Di kafe
pelangi, depan Pantai Losari” jawabku cepat.
“Oh, iya.
Aku memang sering ke sana.”
“Aku
juga,” jawabku cepat, padahal ia tidak bertanya. Pasti dia berpikir, aku ini sok
akrab.
Dia
mengangguk paham sambil melirk isi keranjangku. “Suka sarden?”
Giliran
aku mengangguk sambil melemparkan senyumku yang paling macho menurutku. Anehnya
dia tidak juga membalas senyumanku.
“Biasa, makanan bujangan. Praktis dan cepat,”
candaku berharap dia tergelak. Namun tetap tidak ada senyuman tersungging di
bibirnya yang tipis.
“Kalau
boleh menyarankan, sebaiknya masak ikan segar saja. Lebih menyehatkan dan
bergizi dan tanpa bahan pengawet. Apalagi Makassar banyak sekali aneka ikan
segar. Kalau malas masak, tinggal beli saja,” dia memberi solusi.
“Iya,
tapi lidahku kurang cocok dengan masakan Makassar yang kadang terlalu asam.
Misalnya ikan pallumara.”
“Itulah
khasnya masakan Makassar. Kami menyebut rasa asam itu Kacci atau kecut. Tapi
itu belum seberapa. Pernah coba mangga muda, campuran ikan dan kelapa goreng?
Atau Ikan mentah yang hanya disiram air cuka?”
Tentu
saja aku buru-buru menggeleng. Baru 2 bulan tinggal di Makassar, aku sering
dibuat takjub dengan kebiasaan cara makan orang-orang sini. Misalnya singkong
dan pisang goreng yang dimakan pakai sambal atau daun kelor yang dijadikan
sayur.
“Berarti,
anda harus mencoba semua. Semua itu akan menjadi kenangan terindah, saat anda
meninggalkan kota Makassar.”
“Betul.
Aku akan mencobanya. Dan mungkin bisa minta resepnya. Atau bisa sekalian jadi
pemandu wisata kuliner,” candaku sambil tergelak
“Boleh
saja,” dia lagi-lagi tidak tersenyum di
wajah. “Saya tinggal dulu, ya!”
“Eh,
tidak belanja?” tanyaku pura-pura tidak tahu, kalau dia pemilik supermaket ini
“Saya pemilik supermaket ini,” jawabnya
datar, lalu meninggalkanku.
Aku
buru-buru menyusulnya.”Maaf..”
“Ya??”
“Revan,”
aku mengulurkan tangan.
Ia
menjabat tanganku. “Fatma!”
***
“Kapurung?”
keningku berlipat-lipat.
Fatma
tenyata menepati janjinya. Ia bersedia menjadi pemandu wisata kulinerku. Setelah
minggu lalu kami menikmati konro bakar atau iga muda sapi di sebuah warung di
jalan gunung Bawakaraeng.
“Iya, itu salah satu makanan yang wajib kamu
coba,” kata Fatma datar.
Ia lalu menarik tanganku untuk masuk ke sebuah
warung di tepi jalan Ati Raja. Di pinggir jalan berjejer mobil dan motor. Sepertinya, pelanggan warung ini sangat
banyak.
Benar
saja, aku terkejut saat kepalaku baru menyembul masuk ke dalam warung. Hampir
semua kursi terisi. Seorang bapak tersenyum ramah padaku dan Fatma. Sepertinya
Fatma sudah mengenal pemilik warung ini.
“Kapurung
dua, Daeng!” kata Fatma sebelum mengjaak
aku duduk di kursi di pojok warung.
Hanya lima
menit, seorang pelayan sudah menghampiri. Ia meletakkan dua mangkuk di meja
kami.
“Ini yang
namanya Kapurung?”
“Iya, coba
saja. Pasti ketagihan,” Fatma mulai mengaduk isi mangkuknya. Tampak
bulat-bulatan abu-abu bercampur dengan sayuran dan ikan.
Aku
menyendok sedikit kuahnya. “Waduh asam sekali,” aku mengidik menahan rasa asam.
“Kuah kapurung memang dari air ikan, lalu
dicampur aneka sayuran dan tentu saja cacahan mangga muda.”
“Lalu
bulatan-bulatan ini apa?”
“Itu
sagu. Cara makannya bukan dikunyah. Tapi ditelan. Coba saja! Kalau kamu ingin
dapat istri orang Makassar, maka belajarnya menyukai rasa kecut,” Fatma lalu
mencontohkan cara makan Kapurung.
Aku mengikuti cara makan Fatma. Awalnya
terasa aneh. Bulatan-bulatan sagu itu seperti lem di mulutku. Tapi lama-lama nikmat
juga, walau sesekali aku masih meringis menahan ngilu. Tanpa aku sadari,
mangkuk di hadapanku sudah licin.
“Ternyata, kamu doyan Kapurung juga,” Fatma menatapku serius.
Aku hanya
mengangguk, karena masih menahan rasa pedas.
***
Sepertinya
aku suka Fatma. perempuan manis berkabut senja. Walau selama kebersamaan kami,
aku tidak pernah melihat sebuah senyum manis tersungging di bibirnya yang
tipis.
Tapi
entahlah, aku tetap menyukainya. Walau tanpa senyum manis yang tidak ia miliki.
Semua tertutup dengan kebaikan hatinya.
Aku suka
saat memilih ikan di sebuah pelelangan ikan. Aku suka saat makan kapurung. Aku
suka saat menikmati pohon pinus di daerah Malino. Aku suka saat mandi di air
terjun Bantimurung. Dan aku suka semua saat bersama Fatma.
Walau Fatma seanggun Prita, tapi aku selalu
nyaman bersamanya. Pertemuan-pertemuan dengannya, membuatku sedikit bisa
melupakan kisah luka itu. Saat Prita memilih meninggalkanku, demi pria lain.
Untung saja
saat bersamaan, kantor mengirimku bertugas ke Makassar. Aku bisa meninggalkan
Jakarta dan menghirup angin segar di kota Anging mamiri ini
Aku meraih
blackberryku yang tergeletak di tempat tidur. Segera kutekan nomor Fatma.
“Fat, besok
kita ketemuan di Kafe Palangi, ya!”
***
Langit
tampak kemerahan di ufuk barat. Perlahan-lahan sang surya mulai turun. Semilir
angin menerpa wajahku. Senja yang selalu indah bagiku.
Aku duduk
menghadap pantai. Seperti biasa menikmati senja. Namun sore ini tidak sendiri.
Ada perempuan manis duduk di sampingku. Fatma.
“Cerita
itu 5 tahun yang lalu. Umur saya baru seminggu genap 17. Saya yang memaksa Mama
untuk mengizinkan saya menyetir mobil,” sejenak Fatma menarik napas.
“Dan yang
dikhawatirkan Mama terjadi. Mobil yang saya kendarai menabrak truk di jalan
Mappayukki. Saya selamat. Namun ada kerusakan di tulang wajah saya, terutama
bagian bibir.”
“Jadi?”
“Ya, saya
tidak bisa tersenyum dan tidak akan pernah tersenyum,” kata Fatma pelan.
Fatma
menatapku tajam. Aku membalasnya. Ada ketulusan di bening matanya.
“Awalnya
aku sering menangis. Karena tidak bisa tersenyum, hampir semua orang mengira
aku angkuh. Para pria tidak berani mendekatiku. Tapi, ya.. inilah hidup. Saya
mencoba menjalaninya. Seperti rasa khas masakan Makassar. Asam. Walau kecut,
tapi akan terasa enak, bila kita bisa menikmatinya,” kata Fatma. Untuk pertama kalinya,
aku melihat ada butir-butir bening meluncur dari mata menuju pipinya.
Aku
menggenggam erat tangan Fatma. Lalu pelan-pelan menghapus air mata di pipinya.
“Jangan sedih lagi, ya! kini ada aku yang menemanimu.”
Fatma
mengangguk. Walau tak ada senyum tersungging dari bibirnya, tapi aku tahu ada
senyuman tulus dari hatinya yang paling dalam.
“Berarti, kamu siap mencoba makanan kecut Makassar lainnya?”
“Wah,
apa masih ada lagi?” aku pura-pura kaget.
Senja
semakin turun. Mungkin inilah senja paling indah bagiku. Senja di pantai
Lokasi.
* dimuat di website Majalah Femina
0 Response to "Senja di Pantai Losari"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.