Pagi ini cuaca dingin sekali. Semalam
memang hujan. Matahari pun masih bersembunyi di balik awan.
Saya bangun dengan perasaan sedih. Sejak
semalam, hati saya memang tidak tenang, setelah membaca status Kompas Anak di
akun facebook-nya. Dan hari ini, semua terjawab. Kompas Anak mengucapkan salam
perpisahan.
Sedih, sudah pasti. Berpisah dengan satu
media anak, serasa ada sesuatu yang terbang dari hati saya. Satu media anak
tutup, berarti tertutup satu kesempatan dan harapan.
Sedikit lebay, ya? Tapi itulah
kenyataannya. Perasaan seperti ini, saya rasakan saat berpisah dengan Soca,
lalu Girls, dan sekarang Kompas Anak. Tentu saja dengan media-media anak
lainnya yang duluan mengucapkan salam perpisahan.
Saya mengenal kompas Anak sejak tahun
2008. Waktu itu, saya ke perpustakaan Daerah Jakarta. Saat membuka koran Kompas
edisi minggu, ternyata ada rubrik untuk Anak. Saya pun langsung bersemangat.
Pulang dari perpustakaan, saya langsung beli koran Kompas Minggu. Sampai rumah,
kembali saya pelajari cerita yang dimuat, juga persyaratan kirim naskah ke
Kompas Anak.
Sejak itu, setiap minggu, saya selalu
membeli Kompas Anak. Saya pelajari terus cerita-cerita yang dimuat di Kompas
Anak. Setelah itu, saya mulai menulis cerita, dan mengirimnya ke kompas Anak.
Begitu seterusnya selama setahun. Tulis,
kirim, tulis kirim lagi. Naskahnya saya kirim via pos. Namun terkadang kalau
sedang ingin jalan-jalan, saya antar langsung ke redaksi di Kompas Anak di
jalan Palmerah.
Langsung dimuat, ya? hohoho... tentu
saja tidak. Saya langsung menerima surat penolakan. Teman-teman sering menyebut
‘Surat Cinta’ dari Kompas Anak. Kecewa? Pastinya. Tapi Cuma sebentar. Saya
malah semakin semangat menulis, dan terus mengirim ke kompas Anak.
Sambil menulis cerita, saya juga belajar
menulis artikel untuk Kompas Anak. Prosesnya sama dengan belajar cerita Anak.
Saya pelajari dulu artikel yang dimuat, lalu saya mulai menulis. Saya banyak
belajar menulis artikel dari artikel Bu Retnowati yang dimuat di Kompas Anak.
Waktu terus berlalu. Saya terus menulis
cerita dan artikel untuk Kompas Anak. Terus mengirim, dan terus juga ditolak
hahaha... Tapi tidak apa-apa. Penolakan adalah salah satu proses menulis.
Justru dari penolakan-penolakan, saya belajar untuk menulis lebih baik lagi.
Sampai suatu siang, saat saya sedang
bobok tampan. Tiba-tiba hape saya berbunyi, tanda ada masuk panggilan. Saya
yang baru koneksi 30 persen, segera menerima panggilan itu. Dari seberang saya,
berbicara seorang Bapak. Suaranya ramah sekali. Beliau memperkenalkan diri dari
Kompas Anak. Beliau ingin konfirmasi, apa betul naskah artikel saya ‘Mengusir
cemburu’ itu asli dan belum dimuat di mana pun?
Saya langsung girang sekali (bukan
girang setengah mati). Saya langsung iya kan, kalau itu naskah saya, dan belum
dimuat di mana pun. Beliau mengatakan, akan dimuat. Juga minta maaf, kalau agak
lama dimuatnya, karena banyaknya naskah yang mengantre. Saking senangnya, saya
lupa menanyakan siapa beliau itu. Tapi saya menduga, itu Pak Heru Sudarwanto
hehehe...
Sejak menerima telepon dari Kompas Anak,
semangat saya langsung melonjak 1000 persen (ah.... lebay lagi). Saya terus
menulis. Sejak sabtu malam, saya mulai gelisah, tidak sabar menunggu pagi. Pas
minggu pagi, saya buru-buru ke lapak tukang koran.
Sampai akhirnya 15 Februari 2009, saya
girang sekali saat membuka kompas Anak. Akhirnya nama saya terpampang tampan di
sana. Tapi kok yang dimuat malah cerita saya, berjudul ‘Sama-sama Norak’?
Bukankah kemarin yang dikonfirmasi artikel?
Tapi tidak masalah. Yang penting dimuat.
Dan prosesnya itu dari mulai 2008 sampai 2009. Berarti satu tahun saya berjuang
untuk tembus Kompas Anak. Bahagia rasanya, perjuangan berbuah manis.
Ternyata, artikel Mengusir Cemburu itu
dimuat selang dua minggu kemudian. Wih.. senangnya dobel-dobel. Cerita tembus,
artikel juga tembus. Sasaran saya selanjutnya, menulis resensi buku anak untuk
Kompas Anak.
Begitulah, banyak sekali kenangan manis
yang saya lewati bersama Kompas Anak. Alhamdulillah, sepanjang 2009-2015, ada
25 yang dimuat. Terdiri dari 13 cerita, 8 artikel (Utama atau Boleh Tahu), dan
4 resensi buku anak. Dan cerita Bruno yang dimuat desember 2015 kemarin, jadi
penutupnya.
Terima kasih Kompas Anak. Terima kasih
sudah memberi ruang bagi saya dan teman-teman. Terima kasih kepada
Beliau-beliau yang telah mengasuh Kompas Anak selama ini. Terima kasih Bu
Retnowati, Pak Heru Sudarwanto, dan Pak Sigit Wahyu.
Semua sedih berpisah dengan Kompas Anak.
Tapi seperti ungkapan perpisahan Kompas Anak, semoga ini hanya sementara saja.
Kompas Anak hanya absen. Absen berarti hanya tidak hadir, bukan pergi untuk
selamanya. Terima kasih....
Bambang Irwanto
Bambang Irwanto
0 Response to "Semoga Perpisahan yang Tak Lama"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.