Bambang Irwanto
Namanya
Riani Anjasari. Tapi dia lebih suka dipanggil Tante Rian. Mungkin karena Tante
Rian itu agak tomboy. Seingatku rambut Tante Rian selalu pendek. Tante Rian juga
lebih suka pakai celana panjang dibandingkan pakai rok. Tante Rian jarang
merias wajahnya yang manis.
Tante Rian
itu adik bungsu Mamaku. Usianya 25 tahun dan sudah bekerja di sebuah bank
swasta.
“Tante kok
nggak suka berdandan sih?” tanyaku suatu hari.
“Tante suka
praktis, nggak suka ribet,” begitu jawab Tante Rian.
Bagiku sih
tidak masalah. Yang penting Tante Rian baik dan perhatian banget padaku. Hampir
setiap minggu, Tante Rian pasti main ke rumahku. Tentu saja, Tante Rian selalu
membawa oleh-oleh. Salah satunya kue mochi kesukaanku.
Bila habis
gajian, Tante Rian akan sengaja menginap di hari sabtu. Lalu besoknya, hari
minggu, kami akan pergi jalan-jalan.
Biasanya kami ke toko buku mencari buku baru. Kebetulan aku dan Tante Rian
sama-sama suka membaca. Anehnya, Tante Rian juga masih suka membaca majalah dan
buku anak-anak.
Setelah puas
di toko buku, Tante Rian akan mengajakku ke toko asesoris cewek. Bukan untuk
Tante Rian, tapi untukku. Aku kan, modis. Tidak tombay seperti Tante Rian. Jadi
jangan heran, kalau koleksi asesorisku banyak dan kebanyakan dibelikan oleh
Tante Rian dibandingkan dibelikan Mamaku.
Setelah itu,
kami nonton film terbaru di bioskop dalam Mall. Biasanya sih, aku yang memilih
filmnya. Aku suka nonton film animasi.
Sebagai penutup
acara jalan-jalan, kami mampir makan dulu sebelum pulang. Lalu mencari box
photo untuk foto bersama. Ah.. menyenangkan sekali. Dan acara jalan-jalan
inilah yang paling aku tunggu.
* * *
Sudah hampir
3 minggu ini Tante Rian tidak datang. Aku kangen sekali. berkali-kali aku
menelpon Tante Rian, tapi henponnya tidak aktif.
“Tante Rian
sehat-sehat aja kan, Ma?” akhirnya aku bertanya pada Mama.
Mama
tersenyum. Kali ini senyum Mama kok penuh misteri. “Tante Rian sehat kok.
Mungkin cuma sibuk dengan kerjaannya saja,” jawab Mama sambil terus mencuci
piring.
“Besok aku
mau ke kosan Tante Rian ah, Ma!”
“Eh,
jangan,” Mama menoleh padaku.
“Kenapa, Ma?
Aku sudah tau tempatnya kok, Ma! Nanti aku minta antar Pak Jaya,” tukasku. Pak
Jaya itu sopir keluargaku.
“Tante Rian
sibuk. Pokoknya lagi sibuk. Nggak boleh diganggu.”
Aku
memandang Mama. Mama kok aneh begitu? Masa keponakan mau ketemu tantenya kok
nggak boleh, gumamku lalu menuju kamar. Aku pandangi foto-fotoku bersama Tante
Rian di dinding kamar.
Tante kemana sih? Aku kangen banget, nih, gumamku
sampai menghapus air mata.
*
“Rania...!”
“Tante,
Rian...” teriakku girang. Aku suprais sekali saat baru pulang sekolah.
Aku langsung
berlari menyongsong Tante Rian yang duduk manis di sofa ruang tamu. “Tante
kemana aja, sih. Aku rindu banget tau?”
Tante Rian
memelukku erat. Setelah sekian lama, Tante Rian melepaskan pelukannya. Eh,
Tante Rian kok agak beda. Rambutnya mulai panjang. Tante Rian juga memakai
bedak dan lipstik. Aku ingin bertanya, tapi rasanya kurang sopan.
“Maafin
Tante, ya! Tante Rian sibuk.”
“Sibuk sih,
sibuk, Tan! Tapi jangan lupain keponakan yang manis, dong!”
Tante Rian
tertawa terbahak. “Nih, hadiah untukmu!”
“Wow..
isinya apa, Tante?” tanyaku penasaran sambil menerima kado mungil berpita merah
jambu itu.
“Buka aja.
Kamu pasti suka,” jawab Tante Rian berahasia.
Pelan-pelan
aku membuka kado itu. Wow.. isinya kalung perak dengan liontin huruf R. Aku
suka sekali.
“Terima
kasih, Tante!” aku mengecup pipi Tante Rian.
“Sama-sama,
anak manis,” Tante Rian mengucek rambut sebahuku.
“Tante,
kapan kita jalan-jalan lagi. Kangen, nih. Hari ini Tante nginap, kan?” tanyaku
penuh harap.
“Maaf ya,
Nia! Tante nggak nginap. Ini aja udah mau pulang.”
“Yah..
Tante!” aku kecewa sekali.
*
Beberapa
hari ini, aku lihat Mama sibuk sekali. Mama suka pergi tanpa mengajakku. Kadang
Mama pulang larut malam.
“Pa, Mama
kok pergi terus,” tanyaku pada Papa yang sedang membaca koran pagi sambil minum
kopi di teras belakang rumah. Itu kebiasaan Papa setiap hari minggu.
“Mungkin
Mama lagi sibuk,” jawab Papa.
“Ah,
biasanya Mama kalau minggu di rumah kok, Pa. Kayaknya minggu ini kita nggak
makan makanan baru buatan, Mama.”
“Jadi Mamamu
belum cerita.”
“Cerita apa,
Pa?”
“Tante Rian
dua minggu lagi menikah. Makanya Mamamu sibuk membantu menyiapkan pestanya.”
Aku sangat
terkejut. Tante Rian mau menikah? Kok aku tidak dikasih tahu? Gumamku kecewa.
Saat Mama
pulang, aku segera menghampiri Mama.
“Ma, Tante
Rian mau nikah ya?”
“Papa yang
kasih tahu, ya?”
“Iya. Abis
Mama dan Tante Rian nggak ngasih tahu,” jawabku kesal.
“Sebenarnya
kami sengaja, biar suprais untukmu.” Jawab Mama sambil menepuk pipiku. “Sudah,
ya! Mama mau mandi dulu.”
Uuh.. apanya
yang suprais. Aku malah kecewa. Rasanya ingin menangis saja.
*
Gedung Serba
Guna Widiatama sangat ramai. Tante Rian dan Om Bimo duduk bersanding di
pelaminan. Seperti raja dan ratu. Semua bergembira. Tapi aku tidak. Aku memilih
duduk sendiri di sudut ruangan.
Aku sedih.
Setelah menikah, pasti Tante Rian akan
semakin jarang main ke rumahku. Tante Rian pasti memilih jalan-jalan dengan Om
Bimo, dibandingkan aku. Aku kehilangan Tante Rianku yang tomboi dan baik.
Aku memegang
liontin pemberian Tante Rian. Tiba-tiba airmataku jatuh. Buru-buru aku
menghapus air mataku di pipi.
“Kenapa kamu
menangis?” tiba-tiba seorang anak laki-laki bertanya padaku. Tanpa disuruh, dia
duduk di sebelahku.
“Bukan
urusanmu,” jawabku ketus.
“Semua orang
senang, kamu malah menangis.”
Aku kesal
sekali dengan ucapan anak itu. Apa dia tidak tahu aku sedang sedih.
“Aku Miko.
Om Bimo itu omku. Adik bungsu Ibuku. Sejak kuliah sampai bekerja, Om Bimo
tinggal bersamaku. Ayahku sudah meninggal. Om Bimo juga yang membiayai
sekolahku.”
Aku terkejut
mendengar cerita Miko. Kok sama dengan yang aku rasakan?
“Kamu juga
sedih, dong!”
“Tadinya aku
sedih. Om Bimo itu sudah aku anggap seperti Ayah kandungku. Tapi Ibu bilang, Om
Bimo tetap omku. Dia akan tetap menyayangiku. Jadi kalau aku sayang om Bimo,
aku harus bahagia juga. Lagian, aku akan dapat Tante Baru yang baik. Yaitu
Tante Rian.”
Aku
mengangguk. Iya juga ya, seharusnya aku tidak boleh bersikap egois. Tante Rian
kan berhak bahagia. Aku juga akan dapat Om baru. Lagian aku masih beruntung
dibandingkan Miko. Aku masih punya Papa dan Mama.
“Kamu nggak
sedih lagi?” tanya Miko.
“Masih. Tapi
tinggal sedikit.”
“Bagaimana
kalau kita berteman saja. Aku punya banyak cerita lucu. Sedihmu pasti hilang,”
Miko mengulurkan tangannya.
Malu-amalu
aku menjabat tangan Miko. “Namaku Rania.”
“Yuk, kita
ambil makanan, lalu kita keluar di taman. Di sini banyak orang dewasa.”
Aku mengangguk
setuju. Kini ada perasaan bahagia menyusup ke hatiku.
Bambang Irwanto
0 Response to "Tante Rian"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.