dimuat dimajalah SOCA |
Bibbibbib… terdengar lagi suara hape milik
Pak Syamsul. Riswan melirik padaku. Aku cuma mengangkat bahu. Riswan terlihat
kesal sambil memajukan bibirnya.
Iseng-iseng tadi aku menghitung. Mungkin
sudah sepuluh kali hape Pak Syamsul berbunyi selama jam pelajaran. Padahal kami
sedang serius mengerjakan ulangan matematika. Tentu saja kosentrasi kami sedikit
terganggu.
Aku heran, tidak biasanya hape Pak Syamsul
berbunyi berulang kali. Pak Syamsul juga terlihat gelisah. Ada apa ya, dengan Pak Syamsul hari ini?
Pikirku.
“Aku kesal sekali pada Pak Syamsul,”
gerutu Riswan saat jam istirahat.
“Memangnya kenapa?” aku pura-pura tidak
tahu.
“Hapenya Pak Syamsul itu. Selalu saja berbunyi.
Menganggu kosentrasi kita mengerjakan ulangan.”
“Jadi kamu ingin protes, nih?“ godaku
“Iya. Sebabnya, kita dilarang membawa hape
ke sekolah. Tetapi, kenapa guru boleh.”
Aku tersenyum. Riswan pasti masih
mengingat kejadian sebulan yang lalu. Waktu itu tidak sengaja Riswan membawa
hape ke sekolah dan ketahuan oleh Pak Syamsul. Hape Riswan diambil dan baru
dikembalkan setelah satu minggu. Tentu saja setelah Riswan membuat surat perjanjian, tidak
akan membawa hape ke sekolah lagi.
“Saya akan lapor pada bapak kepala
sekolah, kalau Pak Syamsul bermain hape di kelas.”
“Jangan cari masalah kamu!” cagahku.
“Biar adil, dong! Kebenaran kan , harus di tegakkan.”
Aku memonyongkan bibir. Gaya sekali temanku yang satu ini.
Tadinya aku kira Riswan hanya bercanda.
Tenyata ia serius mau melaporkan Pak Syamsul pada kepala sekolah.
Setelah kami jajan di kantin, ia segera
menuju ruang kepala sekolah. Aku mengikuti Riswan dari belakang.
“Bu, saya mau bertemu kepala sakolah,”
kata Riswan pada Bu Risma di pintu masuk ruangan kepala sekolah.
“Oh, Pak kepala sekolahnya sedang tidak di
tempat. Beliau ada pertemuan di Kabupaten. Ada apa?”
Riswan tampak ragu-ragu. “Eh, saya cuma
ingin bertanya, Bu. Apakah besok sekolah libur.”
“Iya libur. Besok kan , tanggal merah karena hari raya imlek,”
jawab Bu Risma.
“Terima kasih, Bu!” Riswan buru-buru
mengajakku pergi.
“Kenapa kamu tidak bilang saja pada Bu
Risma?” tanyaku.
“Besok saja, lah!”
Seperti biasa aku pulang sekolah bersama
Riswan. Tampak Pak Syamsul keluar dari gerbang sekolah, lalu mengayuh sepeda
kumbangnya dengan tergesa.
“Tidak biasanya Pak Syamsul seperti itu,”
kataku.
“Ah, Pak Syamsul malu kali bertemu kita,”
ujar Riswan.
“Kamu jadi ke rumahku meminjam buku?”
tanyaku.
“Jadi,” jawab Riswan.
“Tapi kita mampir dulu di puskesmas, ya! Tadi
pagi Ibuku berpesan agar aku kepuskesmas untuk mengambil sesuatu.” Kataku. Riswan mengangguk.
Kami berjalan kaki menuju puskesmas desa.
Hanya sepuluh menit kami sudah tiba di sana .
Aku bergegas menuju ruangan Ibuku yang betugas
sebagai dokter desa. Tanpa sengaja, aku melihat Pak Syamsul duduk di ruang
tunggu. Aku dan Riswan segera menghampiri Pak Syamsul.
“Selamat siang, Pak! Pak Syamsul ada
disini?” tanyaku pada Pak Syamsul.
“Iya, Wandi dan Riswan. Tadi di sekolah bapak
mendapat kabar anak bapak sakit. Syukurlah sudah agak baik,” jawab Pak Syamsul.
Oh, kini aku tahu kenapa Pak Syamsul
gelisah sekali di sekolah tadi.
“Makanya kamu jangan prasangka dulu.
Untung kamu belum melapor pada Bapak kepala sekolah.
Riswan tersipu malu. “Iya, aku yang
salah,”
“Saya kagum pada Pak Syamsul, walau
anaknya sakit, beliau masih menyelesaikan tugasnya mengajar di sekolah hari
ini.” kataku.
Riswan hanya mengangguk. Mudah-mudahan
Riswan sudah mengerti, agar jangan selalu berprasangka buruk dulu.
0 Response to "Pak Syamsul"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.