Cerita ini dimuat dimajalah prateen Girls. Idenya, saat saya mengunjungi Ibu saya dan melihat koleksicangkir-cangkirnya yang terpajang rapi di lemari kaca.
Tiba-tiba..cling.. langsung terlintas ide. Dan tersaji satu cerita. Selamat membaca, teman-teman...
Cangkir-cangkir Kesayangan Ibu
Bambang
Irwanto
Ibu mempunyai beberapa koleksi cangkir. Motif dan warnanya sangat beragam. Ada motif bunga,
burung, rumah dan pohon. Ibu menata cangkir-cangkir itu di dalam lemari kaca.
Hanya pada waktu tertentu saja, Ibu
mengunakan cangkir-cangkir itu. Misalnya acara arisan
keluarga, ulang tahun atau lebaran.
Aku paling suka cangkir Ibu yang berwarna
orange bergambar
rumah dan pohon berwarna kelabu. Cangkir itu Ibu beli saat pergi bersamaku di
sebuah toko serba ada, seminggu menjelang lebaran dua tahun lalu.
“Wah… bagusnya cangkir ini,” seru Ibu saat
melewati rak peralatan rumah tangga. Ibu
segera menghentikan kereta belanja, lalu meraih salah satu cangkir.
Aku ikut memperhatikan cangkir itu. Benar,
cantik sekali. Aku jarang melihat
koleksi cangkir seperti itu.
Mbak pramuniaga toko menghampiri kami. “Silakan, Bu! Koleksi cangkir ini tinggal satu set dan
sepertinya tidak akan diproduksi lagi,” kata Mbak itu ramah berpromosi.
Mbak pramuniaga berjongkok lalu
mengeluarkan sebuah kardus besar dari bawah rak.
“Ini koleksi set lengkapnya, Bu!”
Mbak itu membuka penutup kardus dan memperlihat kami koleksi lengkap cangkir itu.
Semua ada 1 lusin, terdiri dari 12 cangkir dan 12 tatakannya.
Ibu tersenyum. Mata Ibu berbinar-binar saat memandang satu set cangkir. Ehm, sepertinya Ibu akan membeli koleksi cangkir itu, tebakku.
Ibu tersenyum. Mata Ibu berbinar-binar saat memandang satu set cangkir. Ehm, sepertinya Ibu akan membeli koleksi cangkir itu, tebakku.
“Baiklah, Mbak. Saya beli cangkir ini,” kata Ibu.
Benar
perkiraanku. Tanpa berpikir lagi, Ibu langsung meminta Mbak pelayan toko untuk membungkusnya,
“Bila ditunda membeli, Ibu takut cangkir
model ini tidak ada lagi. Untung
kemarin banyak pelanggan,” kata Ibu sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum. “Berarti,
Ibu harus semakin giat menerima jahitan, dong!” candaku.
“Apa boleh buat, daripada Ibu
tidak bisa tidur karena memikirkan cangkir itu terus,” ibu membalas candaanku.
Kami tertawa bersama.
Saat lebaran tiba, Ibu mengunakankan
cangkir itu untuk menyuguhkan teh buat para tamu yang datang. Banyak sekali
yang memuji cangkir ibu itu. Tentu saja Ibu senang sekali.
***
Hari
ini, aku melihat Ibu mengeluarkan cangkir itu dari dalam lemari kaca. Sepertinya
Ibu akan menggunakan cangkir-cangkir itu untuk menyambut tamu. Tentu saja
cangkir itu harus dicuci dulu. Walau dalam lemari kaca, tetap saja berdebu.
“Siapa yang mau datang, Bu?” tanyaku heran. “Apa
tamu special?”
“Tadi Kakek menelpon. Sore nanti Kakek akan datang bersama Nenek,” kata Ibu.
Wow… Kakek dan Nenek memang tamu special
juga. Aku selalu rindu bertemu Kakek
dan Nenek. Padahal Kakek dan Nenek hanya tinggal di Bogor dan baru dua minggu
yang lalu kami bertemu.
“Tia bantu ya, Bu,” kataku.
“Terima kasih, Tia. Kamu bantu membawa ke
dapur saja, ya. Biar nanti Ibu yang mencuci cangkir-cangkir ini,”
Aku mengangguk sambil menurunkan
cangkir-cangkir Ibu dari dalam lemari.
“Wah… kenapa cangkir ibu hanya sebelas?”
tanya Ibu.
Aku ikut terkejut. “Kok bisa, Bu? Cangkir itu kan, tdak pernah dipakai setelah lebaran tahun lalu.”
Aku ikut terkejut. “Kok bisa, Bu? Cangkir itu kan, tdak pernah dipakai setelah lebaran tahun lalu.”
Ibu terdiam. Sepertinya berpikir keras.
Sesekali Ibu melirikku penuh arti.
“Bukan aku lho, Bu yang memecahkan cangkir ibu
itu,” buru-buru aku berkata.
“Ibu tidak menuduhmu. Ibu percaya. Tapi di
rumah ini
hanya ada kita bertiga dengan Ayah.”
“Coba Ibu ingat-ingat pada tamu siapa Ibu terakhir
menyuguhkan,” ayah yang sedang membaca Koran ikut berkomentar.
“Seperti hanya waktu Kakek dan Nenek datang, Ibu
mengeluarkan cangkir ini.”
Masa Nenek atau Kakek yang memecahkan cangkir, pikirku.
Sore harinya, Kakek dan Nenek datang berkunjung.
Kami menyambutnya dengan gembira. Seperti biasa, nenek selalu membawakan aku
bolu cokelat keju kesukaanku, buatan nenek sendiri.
Kami lalu berbincang di ruang tamu, sambil
minum teh dan makan bolu cokelat keju
buatan nenek. Saat melihat cangkir Ibu, aku jadi ingat
sesuatu.
“Nek, ternyata, cangkir Ibu ada yang pecah,” kataku.
“Nek, ternyata, cangkir Ibu ada yang pecah,” kataku.
Ibu membulatkan matanya padaku. Aduh, aku
lupa dengan janjiku untuk tidak mengatakan pada nenek.
Tapi nenek langsung terkejut. “Oh, ya.
bagaimana bisa?”
“Kami juga tidak tau, Nek. Baru hari ini
kami tau.”
Nenek terdiam. Apakah nenek akan mengakui kesalahannya.
“kayaknya Nenek
ingat sesuatu.”
“Apa, Nek?”
tanyaku antusias.
Nenek lalu bercerita. Waktu itu di rumah ada
arisan keluarga. Karena sibuk, ibu meminta bantuan Mak Uwi, tetangga kami. Mak Uwi sudah seperti anggota keluarga kami
sendiri.
“Jadi Mak Uwi yang menjatuhkan cangkir, Ibu?” tanyaku lagi pada nenek.
“Mungkin,” kata nenek. “Karena Nenek melihatnya membawa
pecahan cangkir ke belakang,”
“Wah, nanti saya akan menanyakan pada Mak
Uwi,” kataku
“Tak usah, apalah artinya sebuah cangkir,
bila dibandingkan jasa Mak Uwi pada kita.
Aku
mengangguk. Ya, jasa mak Uwi sangat
banyak. Sejak kecil Ibu selalu menitipkan aku pada Mak Uwir bila Ibu ada urusan
keluar rumah. Mak Uwi sudah aku anggap seperti nenekku sendiri.
Tanpa disangka, Mak Uwi datang, Mbak Uwi memang senang mengobrol dengan nenek. Mereka selalu bercerita tentang masa dulu. Seperti zaman saat baru merdeka.
Aku senang-senang saja, karena pengetahuanku jadi bertambah.
“Wah… tamu spesial, cangkirnya juga spesial, canda Mak Uwi.
“Wah… tamu spesial, cangkirnya juga spesial, canda Mak Uwi.
“Iya, sayang pecah satu,” kata
nenek.
Mak Uwi tampak terkejut
mendengar ucapan nenek, “Maafkan Mak
Uwi, ya!”
Oh, Aku buru-buru menutup
mulutku yang terbuka. Ternyata memang Mak Uwi yang memecahkan cangkir Ibu.
Sepertinya sebentar lagi Mak Uwi akan mengaku.
Mak Uwi malah terkekeh. Aku jadi
heran. Mak Uwi lalu bercerita.“Bukan Mak yang memecahkan cangkir itu. Mak
sengaja merahasiakan waktu itu.”
Mak Uwi lalu bercerita. “Waktu itu,
Mak sudah selesai mencuci cangkir dan meniriskan
di atas nampan. Lalu Mak Uwi pergi ke dapur mencuci tangan. Saat Mak kembali,
ternya Pussi sudah ada di meja dan sebuah cangkir sudah jadi ke lantai.”
“Jadi... “ aku melirik Pussy yang
ada sedang berlarian di halaman depan rumah.
“Mak sengaja tidak cerita, karena
takut Ibu membatalkan rencana Non Tia memelihara Pussy.”
Aha, aku teringat. Waktu itu Ibu
memang membolehkan aku memelihara kucing, asal tidak boleh masuk rumah. Ah, Mak
Uwi baik sekali. Aku semakin sayang pada beliau.
0 Response to "Cangkir-cangkir Ibu"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.