“Huhhu...ahahaha..
nggak mau. Pokoknya nggak mau,” tangis Didi, adikku terdengar ke seluruh rumah.
Kosenterasiku
langsung hilang. Padahal aku sedang membuat prakarya untuk tugas sekolah.
Buru-buru aku keluar kamar dan menuju ruang tengah. Tampak adikku yang baru
berumur hampir 6 tahun itu menangis sambil berguling-guling di lantai.
“Didi enggak mau cukur ya, Ma?” tanyaku.
Mama
tersenyum. “Ah, kamu tahu aja.”
“Tahu dong,
Ma! Didi kan, tiap bulan selalu begitu,” aku ikut tertawa.
“Ya, udah
kalau Didi enggak mau cukur, biar nunggu
papa aja,” kata Mama. “Sekarang diam, dong! Malu didengar tetangga.”
Terkadang
Aku kesal juga pada Didi. Setiap ingin cukur, pasti dia menangis dan tidak mau
cukur. Padahal rambutnya sudah panjang sampai menyentuh bahu.
Sebenarnya
Didi lebih lucu dan imut kalau rambutnya gondrong. Apalagi dengan pipi
gembulnya. Setiap orang yang melihat Didi, pasti gemas ingin menjawil pipinya.
Tapi Didi
kan, anak laki-laki. Dia suka mengaruk-garuk kepalanya. Bukan karena kutu kok,
karena Mama rajin mengkramas rambut Didi dua hari sekali. Tapi karena
kepanasan.
Tidak lama
Didi pun berhenti menangis. Sekarang dia asik bermain mobil-mobilan. Kayaknya
itu memang jurus andalannya, agar tidak pergi ke tukang cukur.
“Kamu kok enggak
mau cukur sih, Di?” tanyaku.
“Didi takut,
Kak. Tukang cukurnya galak. Alat cukurnya tajam sekali,” kata Didi.
Ake
terkekeh. Betul juga sih. Pak Hadi itu wajahnya tampak seram dan jarang
tersenyum.
Sorenya,
Papa membujuk Didi ke tukang cukur. Tapi Didi tetap tidak mau. Dia memasang
wajah super cemberut.
“Nanti Papa
belikan mainan, deh!” bujuk Papa.
Mata Didi
langsung berbinar. “Ayo, kita beli mainan dulu, Pa!” kata Didi bersemangat.
“Aku ikut
ya, Pa!” kataku.
“Boleh, ayo
kita segera berangkat. Takut tempat cukurnya tutup!” ajak Ayah.
Kami bertiga
lalu menuju tempat Pak Hadi di ujung kompleks. Sebelumnya, kami mampir dulu ke
toko Mainan Pak Agung. Didi dengan bersemangat memilih mobil-mobil tamiya.
Wah... koleksi mainan adikku bertambah lagi. Kalau tiap bulan dia dibelikan
maianan, bisa penuh kamarnya, gumamku.
“Pa, aku
juga minta boneka, ya!” pintaku.
“Memangnya
Kak Dewi mau dicukur juga?” tanya Didi. Hahaha.. aku dan Papa tertawa.
“Nggak dong.
Kak dewi kan anak perempuan. Jadi rambutnya boleh panjang,” kata Papa.
“Berarti enggak
boleh minta mainan, dong!” kata Didi.
“Yah.. masa
Didi aja yang dibeliin maianan,” kataku merengut.
“Sudah,
jangan ribut. Kalian berdua Papa belikan mainan. Kalian kan, anak-anak Papa,”
kata Papa.
Ah, aku
senang sekali. aku segera memilih Boneka Panda. Setelah itu, kami segera menuju
tukang cukur. Untung tidak mengantri, jadi Didi segera mendapat giliran.
Takut-takut,
Didi duduk di kursi cukur. Pak hadi lalu menutup tubuh Didi dengan kain. Pak
Hadi mulai mengeluarkan alat cukur listrik dan sisirnya dari laci.
“Aah.. Didi
takut,” tiba-tiba Didi menangis. Tangisannya keras sekali.
“Tidak
apa-apa, Didi! Cukurnya hanya sebentar kok,” Pak Hadi menenangkan Didi.
Bukannya
diam, tangis Didi malah semakin kencang. Semua orang menoleh pada Didi. Kain
cukur mulai basah kena airmatanya.
“Papa.. Didi
mau pulang. Didi enggak mau cukur,” kata Didi sambil terus menangis.
“Didi tadi
udah janji mau cukur. Kan sudah dielikan mainan,” tukasku.
“Kak Dewi
juga dibelikan maianan, padahal kak Dewi enggak cukur,” kata Didi mulai
merontak-rontak sambil melepas kain penutup.
Akhirnya
Didi tidak jadi cukur. Papa meminta maaf pada Pak hadi. Kami pun segera pulang.
“Lo, kok
Didi nggak jadi cukur?” sambut Mama heran.
“Biasa, Ma!
Didi menangis,” aku segera bercerita pada Mama. Mama malah tertawa geli.
“O iya, ada
Tante Risma tuh. Ayo, kalian kasih salim,” kata Mama.
Aku segera
menghampiri Tante Risma. Tante Risma itu adik bungsu Mama. Setiap minggu, Tante
Risma selalu mengunjungi kami.
“Jadi Didi
masih takut cukur, ya!”
“Iya Tante.
Katanya tukang cukurnya galak. Memangnya badut harus lucu,” kataku.
Tiba-tiba Tante
Risma berbisik pada aku dan Mama. Aku dan Mama mengangguk setuju. Tante Risma
langsung menghampiri Didi yang masih sesegukan. Aku dan Mama langsung bersiap
dalam kamar. Terdengar percakapan Tante Risma dan Didi dari dalam kamar.
“Didi, mau
nggak Tante yang cukur.”
“Memang
Tante bisa cukur?”
“ Tante dulu
pernah kursus salon. Nanti ditemani badut lucu.”
“Ah, mana
badutnya?” tanya
“Badut.. Ayo
keluar..” panggil Tante Risma.
Aku segera
keluar. Mama sudah mendandaniku seperti seorang badut. Aku memakai daster Mama.
Mama lalu merias wajahku seperti badut. Didi tertawa melihatku hahaha.
Akhirnya
Didi mau dicukur. Hanya 20 menit, Tante Risma sudah selesai mencukur Didi.
Adikku itu tampak gembira sekali.
“Kak, besok
kalau Didi mau cukur, Kak Dewi jadi badut lagi, ya!” pinta Didi
“Ah, capek
tau jadi badut,” kataku. “Tapi enggak apa-apa, deh. Demi adik tersayang.
Hahahaha...
semua tertawa mendengar ucapanku.
Bambang Irwanto
0 Response to "Cukur Ceria"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.