Uang Darmawisata
Bambang Irwanto
Tinggal dua
hari lagi. Tentu saja aku jadi gelisah. Apalagi hanya aku yang belum membayar uang
darmawisata ke pantai Suwuk di daerah kebumen. Bu Ratna, wali kelasku juga tadi
bertanya sebelum jam pelajaran dimulai.
“Waktu
pembayaran hanya sampai besok ya, Lin!” Bu Ratna mengingatkan aku lagi.
“Baik, Bu!”
jawabku lalu tertunduk malu.
Sepanjang
pelajaran hari ini, aku melamun terus. Aku ingin sekali pergi ke pantai Suwuk.
Selama ini, aku hanya melihat di internet sekolah saja. Pantai di laut selatan jawa itu sangat indah. Pemandangannya bagus,
ombaknya sangat tinggi, dan pasirnya putih.
“Kamu jadi
ikut kan, Lin?” tanya Wasti, saat kami berjalan bersama sepulang sekolah.
“Nanti kita bisa main pasir putih di sana.”
“Aku belum
tahu, Ti! Aku kan belum bayar uang darmawisatanya,” jawabku pelan.
“Semoga kamu
bisa ikut ya, Lin.” Wasti memberi semangat. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Aku dan Wasti
berpisah di perempatan jalan kampung. Wasti belok ke kanan dan aku belok ke
kiri. Dari belokan itu, rumahku sudah dekat. Hanya sekitar 50 meter lagi.
“Assalamualaikum,”
aku memberi salam sebelum masuk rumah.
“Waalaikumsalam,”
terdengar suara Ibu dari dalam rumah.
Aku segera
masuk rumah dan mencari Ibu. Tampak Ibu duduk di kursi makan sambil
mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Aku sangat suka rambut panjang Ibu
sebatas pinggang itu. Sangat hitam dan tebal.
“Ibu
darimana? Kok keramas siang-siang?” tanyaku heran.
“Tadi Ibu
membantu Pak Harun panen padi. Jadi rambut Ibu lepek dan bau,” jawab Ibu.
Aku mengangguk
mengerti. Sejak Bapak merantau ke kalimantan, Ibu bekerja apa saja. Jadi buruh
cuci, membantu ketring Bu Mita, sampai menerima pesanan kue. Tapi semua itu
hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami.
“Lin, kamu
ganti baju terus makan!” Ibu membuyarkan lamuananku.
“Iya, Bu!
Jawabku lalu menuju kamar.
Setelah
ganti baju, aku menuju meja makan.Menu kali ini tetap sederhana. Sayur kangkung
dan tempe goreng. Tapi aku selalu bersyukur.
“Kok makannya
sambil melamun, Lin?” tegur ibu.
Aku tersipu
malu. Aku tidak berselera makan bukan karena menunya, tapi aku masih memikirkan
uang darmawisata itu.
“Kamu masih
memikirkan uang darmawisata, ya?” ternyata Ibu bisa menebak apa yang aku
pikirkan. “Sabar ya, Lin. Ibu belum punya uang.”
Aku
mengangguk. Aku tahu Ibu memang belum punya uang. Walau tadi Ibu bekerja membantu Pak Harun panen
padi, Ibu tidak dibayar dengan uang.
Tapi dibayar dengan padi dan harus diselip lagi, untuk memisahkan kulit
padinya. Setelah itu , baru bisa dimasak.
@@@
Tinggal
sehari lagi. Tentu saja aku semakin gelisah. Apalagi saat jam istirahat, teman-teman
sudah mulai ramai membicarakan darmawisata ke pantai Suwuk itu. Semua berencana
membawa makanan apa saja, dan akan melakukan apa saja di sana.
“Kamu mau
bawa apa besok, Ti?” tanyaku pada Wasti.
“kata Ibuku,
mungkin arem-arem dan ayam goreng, Lin. Lalu ada cemilan-cemilan lain.”
“Wah.. seru
sekali.”
“Tapi tidak
seru kalau kamu tidak ikut, Lin!”
Aku menunduk.
“Aku ingin sekali ikut, tapi Ibu memang belum ada uang.”
“Bagaimana
kalau kamu pakai uang celenganku dulu! Nanti kapan-kapan saja bayarnya.”
“Eh, tidak
usah, Ti. Nanti utang Ibuku malah makin banyak utang.”
Bel tanda
istirahat selesai berbunyi. Semua masuk ke ke kelas dengan gembira, kecuali
aku.
@@@
Waktunya
sudah habis dan hanya aku yang tidak ikut darmawisata ke pantai Suwuk. Bu Ratna
memaklumi dan menghapus namaku dari daftar.
“Kenapa kamu
tidak mau pakai uangku saja, Lin?” tanya Wasti.
“Tidak usah,
Ti! Aku tidak apa-apa kok!” jawabku walau aku sedih.
Aku mengandeng
tangan Wasti, agar bergegas pulang. Aku ingin segera sampai di rumah dan menangis
di kamarku.
“Lini..” aku
melihat Ibu melambaikan tangan di gerbang sekolah. Ibu rapi sekali dengan
jilbab biru dan baju muslimah. Itu jilbal dan baju paling bagus yang ibu
miliki.
Aku berlari
menghampiri ibu. “kok Ibu ke sini?”
“Ibu mau
bayar uang darmawisatamu.”
Aku gembira
sekali. segera aku gandeng tangan ibu menuju ruang guru, untuk mencari Bu
Ratna.
“Wah, Bu Ratna
sudah pulang. Baru saja. Katanya mau ke kota dulu,” kata Pak Ahmadi.
“Bagaimana,
Bu?” aku memandang cemas ibu.
“Besok saja,
ya. Sebelum kamu berangkat, Ibu akan membayar pada Bu Ratna.”
Aku gembira
sekali. sepanjang perjalanan pulang aku tersenyum. Wasti juga ikut gembira.
Akhirnya, aku bisa ikut darmawisata ke pantai suwuk. Tanpa terasa, perjalanan
pulang jadi terasa cepat.
“Lin, kamu
ganti baju lalu makan, ya!” Ibu membuka jilbab yang dipakainya.
“Lo, rambut
Ibu dipotong?” tanyaku kaget, saat melihat rambut Ibu sudah pendek.
Ibu
mengangguk. “Tadi kebetulan ada ibu-ibu berkeliling cari rambut. Rambut Ibu
dibeli. Katanya mau dijadikan wig, sanggul, atau bulu mata. Di daerah
Purbalingga kan, banyak pabrik wig. Uang seratus ribu, cukup untuk kamu pakai.”
“Ibu tidak
sayang pada rambut Ibu?”
Ibu
menggeleng. “Ibu lebih sayang pada Lini. Rambut Ibu kan bisa tumbuh lagi.”
Aku langsung
memeluk ibu. “Bu, Lini tidak usah ikut darmawisata ke pantai.
“Kenapa?
Bukannya kamu ingin pergi?”
“Uangnya
untuk modal bikin kue saja,” kataku sambil memeluk erat ibu.
Aku melihat
Ibu tersenyum. Dan itu lebih membahagiakan daripada pergi ke tempat wisata.
0 Response to "Uang Darmawisata"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.