Kemarin pas waktu bulan ramdahan, setelah
sahur, saya kok tiba-tiba ingin buat status yang terinspirasi dari status
kekinian. Itu lho, dari ucapan Bu Susi, yang ‘tenggelamkan hahaha...
Karena saya seorang penulis, maka saya
pun mencari, kira-kira apa yang cocok dan pas, ya.
Taraaaa... akhirnya nemu ini. Lucu kan? Hehehe...
Taraaaa... akhirnya nemu ini. Lucu kan? Hehehe...
Tapi memang, banyak orang yang seperti itu. Saat ada teman posting status baru tentang bukunya baru terbit, ada saja yang komen,
"Eh, buku baru. Bagi dong...!"
"Nanti kirim buku gratisannya ya,
Say!"
"Minta dong, buku baru!"
“Aah.. saya nunggu kuis aja ah.. ! Lumayan
gretongan.”
Padahal menurut saya, ucapan-ucapan itu bisa membuat penulis sedih. Sedihnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari Sabang samapau Marauke.. apa sih, kagak nyambung hahaha.
Kenapa? Karena mereka yang suka ngomong
seperti di atas itu, sebenarnya tidak menghargai proses sebuah buku. Asal tahu
saja, proses satu buku itu sangat panjang dan lama. Memeras otak dan memeras
keringat. Penuh perjuangan dan cucuran airmata. Bukan sesuatu yang instan,
simsalabim, atau abrakabarbda.
Sebuah buku yang ditulis sendiri, memerlukan persiapan yang matang. Kalau cuma copas sana sini sih, sehari juga kelar. Jadi butuh referensi banyak. Bila ingin menulis buku dengan satu tema saja, penulis harus sial ‘melahap’ tumpukan buku segunung, agar sumbernya jelas dan percaya. Bahkan cerita anak bergambar 24 halaman saja, yang tiap halaman hanya 2-3 kalimat, itu bisa ditulis sangat lama.
Lalu, setelah naskah selesai, masih ada
perjuangan lain. Naskah harus dikirim ke penerbit. Nunggu lagi, antre naskahnya
dibaca, dan ini butuh waktu juga. Alhamdulillah kalau diacc atau diterima. Kalau
tidak? Penulis harus mulai dari dari awal, mengirim naskahnya ke penerbit lain.
Walau memang ada juga naskah pesanan dari penerbit, jadi proses ini lebih cepat
dilewati. Tapi jangan salah. Untuk sampai pada tahap ‘naskah pesanan penerbit’,
itu juga harus melalui proses di atas tadi, yaitu berjuang sendiri kirim naskah
ke penerbit.
Setelah naskah diacc, proses
selanjutnya. Naskah diacc, bukan otomatis naskah diterbitkan. Harus proses
penyesuaikan naskah lagi. Biasanya ada masukan dari editor, sebagai jembatan
penulis dan pembaca. Jadi naskah kita harus disesuaikan dengan pembaca. Proses
revisi pun dimulai. Dan ini juga waktunya lama. Malah kadang, ada beberapa yang
harus dihilangkan, atau ditambahkan. Dan ini tentu saja butuh waktu lagi.
Kalau buku kita memerluka gambar atau ilustrasi, itu juga prosesnya lama. Jadi walau naskah sudah selesai, tapi ilustrasi belum selesai, buku belum bisa diterbitkan. Dan memang, mengilustrasi itu tidak bisa secepat menulis.
Saya punya pengalaman. Ada buku cerita
anak saya prosesnya sampai 3 tahun tebit. Pertama kendalanya di ilustrasi.
Setelah berkali-kali ganti ilustrator, akhirnya ketemu ilustrasi yang bersedia
dan cocok. Tapi karena buku saya ini bertema Ramadhan, maka harus terbit sesuai
momennya.
Pengalaman lain, ada naskah saya bersama
teman-teman yang masih belum bisa terbit. Kendalanya diilustrasi juga. Teman
ilustrator yang awalnya bersedia, eh.. ternyata mengundurkan diri. Tiap
ditanya, katanya dikerjakan. Ternyata setelah ditagih, tidak ada progres.
Alhamdulillah sekarang ada teman yang sudah bersedia mengilustrasi, dan semoga
cepat terbit. Aamiin...
Terkadang juga, proses buku kita
tersendat, karena ada pergantian editor. Misalnya awanya editor buku kita Mbak
Keke, tapi kemudian Mbak Keke pindah atau resind. Akhirnya Mbak Keke digantikan
Mbak Lulu. Nah, ini juga perlu penyesuaian lagi, agar antara penulis dan editor
klik-klok.
Kadang juga, editor kita sedang cuti. Misalnya cuti lahiran. Jadi kan otomatis proses buku kita break dulu. Nah, nanti setelah editor selesai cuti, baru dilanjutkan lagi. Ini sesuai pengalaman saya, ya.
Kadang juga, editor kita sedang cuti. Misalnya cuti lahiran. Jadi kan otomatis proses buku kita break dulu. Nah, nanti setelah editor selesai cuti, baru dilanjutkan lagi. Ini sesuai pengalaman saya, ya.
Setelah semua beres. Baru buku dicetak. Ini juga menunggu waktu. Karena buku yang akan diterbitkan banyak oleh satu penerbit, maka kita pun harus mengantre. Sampai akhirnya naik cetak, dan diterbitkan. Barulah hati lega, tentram, damai, aman, sentosa hehehe.
Sudah bisa dimengerti ya, proses sebuah
buku itu sangat panjang dan lama. Perlu tenaga dan pikiran. Juga perlu banyak
koyo dan tolak angin, kalau harus lembur dan dikejar deadline hahaha. Dan sesuai pengalaman saya, proses buku saya
dari ditulis sampai terbit itu 3 tahun.
Jadi kalau tiba-tiba penulis sudah bersusah payah sampai bukunya terbit, janganlah main minta. Itu seperti sebuah belati yang menghujam jantung, sakitnya bukan hanya di hati, tapi juga sampai di dengkul... hahaha lebay Belilah bukunya, sebagai penghargaan kepada penulis.
Penulis itu salah satu ladangnya dari
penjualan buku. Kalau buku banyak terjual, royalti juga banyak. Penulis makin
semangat menulis. Dan makan bakso jadi lancar... Eh, itu kan, Aku, penulis
tampan rupawan, imut, menggemaskan sepanjang masa hahahaha...
Jadi mulai sekarang, yang masih suka
minta buku gratisan, tidak perlu ditenggelamkan.
Kalau semua ditenggelamkan, para ikan
bosan makan juga. Lalu mereka buru-buru cari bakso. Bisa gawat saya hahaha.
Cukup diingatkan, agar beli buku saja.
Percaya deh, beli buku tidak ada ruginya. Apa yang kita dapat di buku itu, jauh
lebih banyak dibandingkan harganya.
Orang cakep.. suka beli buku hehehe.
Bambang Irwanto
0 Response to "Tidak Perlu Tenggelamkan Mereka"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.