Jangan nonton film My Generation, kalau masih
menilai film ini dari poster dan trailernya saja. Jangan pula nonton film My
Generation, kalau masih menganggap filmnya mengajarkan hal-hal tak benar pada
anak. Juga jangan nonton film My Generation, kalau mengajak anak yang belum 17
tahun. Karena film ini jelas-jelas dilabeli film 17+. Jadi secara logika,
adegan film sudah disesuaikan untuk usia 17+.
Kemarin,
rabu 15 November 2017, saya menyempatkan diri menonton film My Generation. Kok
baru sekarang, kan filmnya sudah tayang sejak 9 November 2017? Soalnya di
Kebumen belum ada bioskop hehehe. Awalnya saya rencana mau ke Yogyakarta saja.
Bisa naik kereta api Wijayakusuma dan bisa PP.
Tapi saya
dapat info, kalau di Purwokerto sudah ada CGV di Rita Supermall. Saya pun
mencari waktu yang kira-kira pas dengan jadwal syuting dan pemotretan saya menulis
saya. Makanya kemarin saya pun meluncur ke Purwokerto, naik motor. Mumpung lama
tidak ngebolang hahaha.
Singkatnya, saya sampai di Purwokerto pukul 10 pagi. Sesuai rencana
saya, karena akan nonton yang show pukul
sebelas lebih 15 menit, biar saya tidak kemalaman pulang. Saya pun
segera naik ke Rita Supermall lantai 5.
Opening
film dibuka dengan kebetean 4 sahabat yang gagal berlibur. Lalu adegan flashback
saat mereka disidang dengan menghadirkan orang tua masing-masing. Intinya,
video yang mereka buat yang memprotes sekolah, guru, dan orang tua itu viral di
media sekolah.
Sebenarnya, apa yang mereka ungkapkan di
video itu, adalah mewakilli perasaan teman-teman mereka. Dan ternyata
teman-teman lain mendukung. Hanya mereka tidak berani saja mengungkap keresahan
mereka. Makanya Orly bete banget dan ngomong, “Kemana aja lo, pas kita
disidang?”
Jadi ribut-ribut
soal trailernya yang tokohnya kok ngomong begitu, itu hanya di video, bukan di
depan orang tua atau guru. Dan itu lebih mengekspresikan keresahan hati mereka.
Kalau dulu kan remaja curhat ke sahabat atau diary. Nah, film ini menyesuaikan,
dari curhat di diary ke media sosial. Dan tentu saja guru dan orang tua tidak
suka dengan ulah mereka. Makanya mereka dihukum tidak boleh pergi liburan.
Maka kisah selama liburan inilah bergulir.
Bergantian tokoh-tokohnya disorot dengan berbagai konfliknya. Konji dengan
orang tua yang selalu merasa paling benar, Zeke yang orang tuanya tak peduli
dan terus menyalahkannya, Orly yang mamanya pacaran dengan brondong, juga Suki
yang orang tuanya tak peduli dan tidak mendukung hobinya bermusik.
Dan memang kan, tokoh dalam film ini harus remaja
berkonflik? Kalau tokoh remajanya baik, rajin belajar, juara kelas, nurut orang tua, orang tuanya
harmonis, dijamin adegannya tidak akan seperti ini. Lagipula kalau kehidupan
tokoh remaja baik-baik saja, lalu apa yang akan disuguhkan dalam cerita? Lalu
pelajaran apa yang akan diambil setelah menonton filmnya?
Jadi jelas diperlihatkan kenapa tokoh-tokoh berbuat
begitu. Istilahnya, ada ulah, karena sebab. Kenapa Suki rambutnya pink padahal
anak sekolahan? Kenapa Orly pakai baju pengantin? Kenapa Mereka corat-coret
mobil? Kenapa itu dan kenapa ini? Semua jelas dalam film.
Beda sama trailer yang dihebohkan. Itu kan hanya
potongan-potongan adegan. Sama dengan orang hanya membaca judul postingan, lalu
komen negatif, padahal malas klik link dan membaca postingan utuhnya. Sama
dengan sebuah gambar yang dicrop lalu diposting, padahal gambar utuhnya tidak
begitu. Sama dengan buku cerita anak, yang diposting hanya bagian tertentu
saja, padahal ceritanya bukan mengajarkan porno pada anak.
Saya sangat menikmat setiap adegan film yang diracik
dengan alur maju mundur. Mungkin karena saya sebelumnya pernah menulis juga soal
film My Generation ini. Saya sudah melihat poster dan menonton trailernya juga.
Jadi rasa ingin tahu saya lebih tinggi. Apa filmnya sesuai bayangan saya.
Selama menonton, saya menggunakan POV serba tahu.
Jadi saya menempatkan diri di posisi orang tua dan anak juga. Saya bisa
merasakan, bagaimana orang tua ingin selalu anaknya baik. Bagaimana orangtua
sangat malu dengan kelakuan anaknya yang membuat video viral. Juga bagaimana
saat orang tua melihat kerapuhan anaknya.
Saat saya memposisikan di tokoh remajanya, saya bisa
merasakan bagaimana saat potensi Suki diremehkan, bagaimana saat Zeke merasa
dihakimi, bagaimana saat konji merasa dirinya hadir di luar nikah, dan
sebagainya.
Pasti rasanya Suki sedih sekali, saat keluarga besar
makan malam, namun si Papa tak mengajak, dan tak menganggap kehadirannya. Juga
Orang tua Suki tidak mendukung bermusiknya. Hal ini berbanding terbalik dengan
tokoh Luna, yang walau agak terkucil tapi karena orang tuanya mendukung hobi
gambarnya, maka Luna bisa berkembang. Jadi wajar kan, kalau Suki bilang intinya seperti ini, “Orang tua selalu mengukur kebahagiaan dari uang. Mereka nggak memikirkan bagaimana kita bahagia?”
Itu mengingatkan saya, saat Bapak saya bilang, “Buat
apa itu ketak-ketik. Paling ceritamu di sana dibuang.” Itu rasanya sakit
sekali. Untung ada ibu dan kakak perempuan saya yang terusmendukung. Lalu
bagaimana dengan Suki yang mamanya pun sibuk dan tidak mendukungnya? Syukurlah
ada 3 sahabatnya yang saling mendukung.
Seperti gembar-gembor filmya kemarin, film ini
memang samasekali tidak mengajarkan remaja melakukan hal-hal yang tak benar.
Seks bebas, melawan orang tua, pergaulan bebas, dan sebagainya. Bahkan ke 4
tokohnya tidak ada adegan merokok. Menurut saya, apa yang tersaji di film, semua
sesuai fakta. Apalagi Mbak Upi melakukan riset film ini selama 2 tahun. Jadi
seperti yang saya tuliskan tadi, semua kelakuan tokohnya karena ada sebabnya.
Dan kalau mau jelas, tonton film selengkapnya.
Secara keseluruhan film garapan Mbak Upi dan produksi Ifi Sinema ini keren. Apalagi Mbak Upi melakukan risetnya selama 2 tahun. Dan saya puas,
setelah menonton filmnya. Ceritanya bagus, dan 4 pemeran utamanya berakting bagus, walau baru pertama kali main film. Apalagi didukung pula oleh sederatan aktor dan aktris beken lainnya.
Secara khusus juga, saya ‘merasa menang’. Karena apa yang
saya pertahankan selama ini, kalau film ini memang bagus, tidak mengajarkan
remaja hal-hal negatif, dan sebagainya, sudah saya buktikan sendiri. Apa yang
dilakukan para tokohnya dalam film, sangat sesuai dan masih batas kewajaran.
Film My Genration memberi banyak pelajaran, tentang
bagaimana orang tua dan anak saling memahami, tidak merasa paling benar, dan
bisa berdamai dengan diri sendiri. Apalagi ending film ini adalah ending
tuntas. Jadi semua konflik terselesai dengan cara yang Indah. Duh.. bisa bikin
mata berkaca-kaca, bahkan mewek. Jadi saat nonton, bisa siapkan tissue atau
saputangan hehehe.
Jadi... Jangan nonton film My Generation, kalau
masih menilai film ini dari poster dan trailernya saja. Jangan pula nonton,
kalau masih menganggap filmnya mengajarkan hal-hal tak benar pada remaja. Juga
jangan nonton film My Genaration, kalau mengajak anak yang belum 17 tahun.
Karena film ini jelas-jelas dilabeli film 17+.
Lebih baik, nonton saja film lengkapnya. Jangan
percaya omongon yang hanya melihat poster dan trailernya. Kita harus bijak,
tidak hanya melihat sesuatu dari satu sudut saja. Jadi tidak terpancing omongan
sepihak.
Tapi semua kan kembali ke pribadi masing-masing. Mau
nonton film My Generation atau tidak, tidak masalah. Boleh berbeda, asal jangan
langsung menilai, padahal belum cek dan ricek.
Dan di sini saya menulis dari sudut pandang saya sendiri. Jadi kalau
beda, piss saja hehehe.
Bambang
Irwanto
0 Response to "Jangan Nonton Film My Generation!"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.