Cerpen Anak - Ide cerita itu darimana saja, termasuk cerita anak. Nah, kemarin saya bikin kacang bawang, dan langsung teringat cerita ini.
Cerpen anak ini saya kirim sekitar pertengahan 2010, dan Alhamdulillah dimuat di lembaran anak pada harian KOMPAS edisi minggu 21 Agustus 2011. Yang spesialnya lagi, cerita ini dimuat menjelang lebaran. Jadi bisa dibilang dapat THR dari KOMPAS. Bisa bikin 10 toples kacang bawang lagi hahaha.
Penasaran dengan ceritanya? Silakan... semoga suka dan menginspirasinya. Jadi teman-teman terus semangat menulis.
Tas Kacang Bawang
Warnanya birunya
sudah memudar. Talinya sudah beberapa kali putus. Sudah banyak jahitan di sana sini.
Itulah, tas sekolah milik Suti, teman sekelasku. Karena tas itulah, hampir
tiap hari Suti diejek teman-temanku.
Seperti hari ini. Suti
menangis lagi. Taufan, Banu dan Rian mengejek Suti lagi. Tiga anak itu memang
terkenal paling bandel di kelasku.
”Suti,
seharusnya tasmu itu dimuseumkan saja!” ejak Taufan.
”Iya, Suti!
Tasmu sudah jelek dan bau. Kalau diceburkan ke kolam ikan, pasti semua ikannya
akan mati! Pasti sudah bertahun-tahun tidak dicuci,” tambah Banu.
”Benar, Suti!
Kenapa kamu bisa tahan memakai tas bau? Masa kamu tidak mampu membeli tas
baru?” tanya Rian dengan maksud mengejek.
”Hitung saja berapa
jumlah tambalannya! Sepuluh, seratus, ribuan...haha....” Taufan menirukan
sebuah iklan di televisi.
Semua anak ikut
tertawa. Hanya aku dan Ita yang tidak tertawa. Bagi anak lain mungkin itu lucu.
Tapi bagi Suti, itu sangat menyakitkan.
Kalau sudah begitu,
aku dan Ita yang akan bingung menghibur Suti. Biar bagaimanapun, Suti adalah
teman yang baik. Suti selalu membantu aku dan Ita mengerjakan
PR.
”Sudahlah Suti,
jangan dengarkan kata-kata mereka! Mereka memang anak-anak nakal,”
hiburku.
”Iya, Suti! Mereka
hanya iri saja padamu, karena kamu selalu juara kelas,” Ita ikut menghibur
Suti.
”Mereka memang
benar. Tasku memang sudah usang, bau dan banyak tambalannya. Aku memang tidak
mampu membeli tas baru,” kata Suti masih terisak.
Aku dan Ita
selalu kasihan pada Suti. Keadaanlah yang membuatnya tidak bisa membeli tas
baru. Bapaknya sudah meninggall, dan ibunya hanya berjualan
nasi uduk. Adik Suti ada dua orang. Untuk makan saja, mereka harus selalu
beririt.
Waktu pulang
sekolah, wajah Suti masih saja terlihat sedih. Kami memang selalu pulang
bersama. Untunglah besok sekolah libur seminggu. Jadi Suti tidak perlu
mendangar ejekan teman-teman lagi.
Kami berpisah di perempatan
jalan. Suti berbelok ke kanan, sedangkan aku dan Ita berbelok ke kiri. Aku tinggal
satu kompleks dengan Ita, sedangkan Suti tinggal di belakang kompleks.
”Kasihan
Suti ya, Ta! Ia selalu saja diejek oleh
teman-teman kita,” ujarku.
Ita mengangguk.
”Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong Suti ya, Ran?”
”Aku juga
bingung, Ta! Suti tidak pernah mau menerima tas pemberian kita.”
”Mungkin
dia malu, Ran! Lagipula Ran, teman-teman akan semakin mengejek Suti, bila
melihat Suti memakai tas bekas kita. Pasti teman-teman akan mengejek Suti
seorang pemulung,” ujar Ita. Aku mengangguk setuju.
Waktu aku dan
Ita melewati lapangan kompleks tampak beberapa orang sedang memasang
tenda dan layar lebar. Kami berhenti sejenak untuk melihat.
”Sepertinya
orang-orang itu sedang memasang layar tancap,” kataku.
”Wah, berarti
ada keramaian, dong!” seru Ita senang. ”Kita nonton, yuk! Apalagi kita sedang
libur. Pasti nanti banyak orang yang berjualan.”
Orang jualan?
Pikirku. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku.
”Aku ada Ide,
Ta! Mudah-mudahan kita bisa membantu Suti,” kataku bersemangat.
”Ide apa, Ran?”
tanya Ita penasaran.
Aku membisikkan
sesuatu ke telinga Ita.
”Apa kamu yakin
akan laku? Apa tidak ada resikonya?”
Aku tersenyum.
”Aku yakin akan laku. Lagipula tidak basi. Kalau misalnya hari ini tidak laku,
besoknya bisa dijual lagi!” aku menjelaskan. ”Hitung-hitung, sambil jualan,
kita bisa nonton layar tancap hehe...” aku tertawa sendiri.
”Idemu boleh
juga! Tidak ada salahnya kita coba!” Ita mendukung ideku. ”Oke kita ganti baju
dulu! Setelah itu aku akan ke rumahmu!”
Sampai di rumah,
aku menceritakan ideku itu pada Ibu. Ternyata Ibu setuju dan siap membantuku.
Bahkan Ibu bersedia meminjamkan dulu modal untuk berjualan.
Akhirnya siang
itu, aku, Ita dan Ibuku sibuk di dapur. Menjelang sore semua sudah siap. Aku
dan Ita bergegas mandi, lalu berangkat ke lapangan kompleks.
Pukul lima
sore, orang-orang sudah ramai berkumpul. Padahal filmnya baru diputar pukul tujuh
malam. Aku dan Ita segera beraksi. Kami memutuskan untuk berpisah. Aku ke timur
sedangkan Ita ke arah barat.
”Kacang
bawang...kacang bawang! Enak, gurih, renyah! Hanya seribu rupiah...!” teriakku
berkeliling lapangan menjajakan kacang bawang.
Ternyata banyak
orang yang suka. Untuk menarik pembeli, bila ada yang membeli 10 bungkus, aku
kasih bonus 1 bungkus. Sebentar saja jualanku langsung habis.
”Bagaimana
jualanmu, Ta?” tanyaku begitu melihat Ita.
Ita tersenyum.
”Habis! Bahkan masih banyak orang yang mau.”
”Kalau begitu,
besok kita bikin yang lebih banyak. Sekarang, kita nonton layar tancap.”
Tak terasa
seminggu berlalu. Pertunjukan layar tancap sudah selesai. Kami pun berhenti
berjualan kacang bawang. Hasil penjualan sudah aku serahkan pada Ibu,
untuk dibelikan tas baru buat Suti.
Siang itu,
sepulang sekolah, aku mengajak Ita dan Suti ke rumahku. Ibu sudah membelikan
tas baru untuk Suti.
Suti menerima dengan
suka cita tas pemberian kami. Airmata Suti menetes karena
terharu. ”Terima kasih, teman!” ucap Suti berkali-kali, sambil memeluk aku dan
Ita.
”Ibu juga
mempunyai kejutan untuk kalian,” kata Ibuu sambil memberikan bungkusan besar
pada aku dan Ita. Kami membukannya dengan penasaran.
Wah ternyata
isinya dua buah tas baru.
”Ini untuk aku
dan Ita, Bu?” tanyaku.
Ibu tersenyum. ”Ternyata
keuntungan hasil berjualan kacang bawang lumayan juga. Cukup untuk membeli tiga
buah tas baru.”
”Bararti kita
bertiga tas baru, dong!” ujar Ita.
”Ibu ada usul!
Bagaimana kalau tas baru kalian diberi nama tas kacang bawang?” canda Ibu
pada kami.
Kami tertawa
mendangar usul Ibu, sambil mengangguk tanda setuju.
Besoknya, kami
ke sekolah dengan gembira. Masing-masing kami memanggul tas baru. Ya, tas
kacang bawang hasil jerih payah kami. - Bambang Irwanto
0 Response to "Tas Kacang Bawang"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.