Rori
Bambang Irwanto
“Selesai,” Pak Marcel menarik napas lega sambil memandang sebuah boneka di tangannya.
Boneka itu terbuat dari kain perca yang diisi kapas. Matanya dari sepasang kancing berwarna merah. Hidungnya dari sebutir manik-manik, dan mulutnya hanya dijahit benang.
“Ehm, apa nama bonekea ini, ya?” Pak Marcel berpikir sejenak. “Baiklah, namamu Rori. Semoga ada orang yang segera membelimu, ya!” kata Pak Marcel sebelum beranjak tidur malam.
Sayangnya, sudah berbulan-bulan Rori dipajang di etalase toko, tidak seorang anak pun berniat membelinya. Anak-anak lebih suka membeli boneka panda, boneka putri atau beruang. Rori sangat sedih.
Suatu siang, Bu Arita dan Marza, anaknya masuk ke toko boneka Pak Marcel. Mereka salah satu pelanggan. Pak Marcel menyambut ramah setiap tamu tokonya.
“Ah, semoga anak itu membeliku,” harap Rori saat Marza melewatinya.
Marza berhenti, lalu menatap Rori. Rori menahan napas. Ia sangat berharap Marza meraihnya dari etalase toko. Tapi kemudian, Marza berjalan menjauh. Rori sedih sekali.
Ah, tidak ada anak yang mau membeliku. Aku ini boneka jelek dan tak berguna, keluh Rori.
Benar saja. Marza membeli boneka putri berwajah cantik dan berambut pirang.
“Tunggu dulu,” tahan Pak Marcel saat Bu Arita dan Marza hendak meninggalkan toko.
“Ada apa, Pak Marcel? Apa saya kurang membayarnya?” tany Bu Arita.
Pak Marcel tersenyum. “Tidak Bu Arita. Saya punya hadiah tambahan untuk Marza.”
“Wah, aku mau Pak Marcel!” sorak Marza.
Pak Marcel lalu mengambil Rori. “Ini hadiah untuk Marza,” kata Pak Marcel sambil memasukkan Rori ke dalam tas belanja Bu Arita.
“Terima kasih, Pak Marcel,” kata Bu Arita lalu meninggalkan toko boneka Pak Marcel. Sepanjang jalan Marza terus mengeluh, karena Pak Marcel memberikan boneka jelek untuknya. Tentu saja Rori sedih mendengar ucapan Marza.
Sesampai di rumah, Marza segera mengeluarkan boneka putrinya dari dalam tas. Hanya Rori yang tidak ia keluarkan.
“Hai kamu mau boneka?”
Tiba-tiba Rori mendengar ucapan, Marza.
“Mau,” jawab anak itu.
Marza lalu mengambil Rori dalam tas, dan berlari ke
halaman depan. Rori melihat seorang anak perempuan sebaya Marza. Anak itu
sedang mengaduk-aduk bak sampah di depan rumah Marza.
“Ini, boneka untukmu!” Marza segera memberikan Rori
pada anak pemulung itu.
“Terima kasih!” anak pemulung itu segera mendekap
erat Rori sambil bersenandung riang. Rori senang sekali, ia berharap bisa
menjadi teman anak itu.
Ternyata dugaan Rori salah. Anak itu membawa Rori ke
sebuah kedai. “Bu boleh aku menukar boneka ini dengan permen saja?”
Ibu pemilik warung itu memperhatikan Rori. “Ehm,
walau boneka ini sangat jelek, tapi masih baru, siapa tahu ada yang mau
membeli,” kata Ibu pemilik warung itu.
Rori melihat anak itu tersenyum senang. Rori kembali
sedih.
“Baiklah, ambillah dua permen kojek!”
Anak itu senang sekali. ia segera memilih dua permen
kojek warna merah dan biru. Sambil bernyanyi kecil, ia meninggalkan warung.
Rori sangat sedih. Ternyata anak itu tidak
menginginkannya juga. Ibu pemilik warung kemudian menggeletakkan Rori di sudut
warung yang dingin.
Malam harinya Rori terus terjaga. Tiba-tiba ia
mendengar suara berbisik.
“Di mana kita akan menyembunyikan kalung permata
ini?”
Seorang pencuri mengamati sekeliling. Tiba-tiba ia
melihat Rori dan segera menyambarnya. Dengan cekatan, ia merobek sedikit tubuh
Rori dan memasukkan kalung permata ke tubuh Rori.
Tiba-tiba terdengar suara ribut. Lalu beberapa kali
terdengar suara tembakan. Tidak berapa lama Rori melihat kedua pencuri itu
ditangkap polisi.
Esok harinya Rori melihat seorang Bapak membuka
warung itu.
“Eh, boneka siapa ini?” tanya Bapak itu sendiri
sambil memungut Rori dari lantai warungnya. “Sebaiknya aku simpan saja. Siapa
tahu ada anak yang mecarinya.”
Menjelang sore, seorang gadis cilik datang ke warung
itu.
“Pak Jaya, saya mau membeli beras setengah kilo
saja.”
“Baik, Marni!”
Sambil menunggu Pak Jaya menimbang beras, Marni
memperhatikan toko pak Jaya.
“Eh boneka siapa ini, Pak?”
“Entalah, kalau kamu suka, ambil saja.”
Marni senang sekali. Ia pun membawa pulang Rori.
Saat menimangnya sesuatu terjatuh dalam tubuh Rori. Ternyata kalung permata.
Marni segera mencari ibunya. Ia segera menceritakan. Rori menyimak pembicaraan
Marni dan ibunya.
“Wah.. apakah ini kalung berlian istri Bapak
walikota yang hilang,” duga ibunya
Marni. Ibu tahu, karena semua orang membicarakan berita kalung itu.”
“Tapi kalo kalung ini kita jual, harganya sangat
mahal, Bu! Kita bisa membeli baju dan makan enak,” tukas Marni.
Ibu Marni menggeleng. Ia lalu mengajak Marni ke
rumah Bapak Walikota. Di pintu gerbang mereka ditahan penjaga.
“Kami ingin mengembalikan kalung ini,” Ibunya Marni
bercerita semuanya.
Penjaga menatap curiga, namun akhirnya membuka pintu
untuk Marni dan Ibunya. Istri Bapak walikota segera menemui mereka.
“Kalian jujur sekali. sebenarnya kalung ini tidak
terlalu mahal. Itu juga berlian imitasi. Hanya kalung ini tidak ternilai karena
pemberian almarhum Ibu saya,” istri walikota menjelaskan. “Marni sekolah di
mana?”
Marni menunduk. “Saya membantu Ibu berjualan di
pasar, Bu.”
“Oh, sebagai rasa terima kasih, saya akan membiayai
sekolahmu. Kamu mau?”
Marni senang sekali. “Terima kasih boneka perca,”
Marni mendekap Rori. Rori sangat bahagia, karena telah menamukan seorang gadis
cilik yang menyayanginya.
0 Response to "Rori "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Bila berkenan, silakan meninggal jejak manisnya di komentar. Dilarang copas seluruh isi tulisan di blog ini tanpa seizin saya. Bila ingin dishare atau diposting kembali, harap mencantumkan sumbernya. Diharap tidak memasukan link hidup di komentar, ya. Maaf sekali akan saya hapus. Terima kasih dan salam semangat menulis.