Cara Saya Menyikapi Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Cerita Anak DKJ 2019 - Awalnya, saya diwhatsapps oleh Mbak Pupuy Hurriyah. Mbak Pupuy mengabarkan, kalau mendapat undangan untuk menghadiri Malam Anugerah Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019. Acaranya berlangsung Rabu, 4 Desember 2019 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.
Wow.. saya langsung memberikan selamat pada Mbak Pupuy. Dalam bayangan saya, yang diundang itu biasanya yang menang lomba. Saya pun becandain Mbak Pupuy agar jangan lupa mentraktir saya bakso hahaha.
Malamnya, 4 Desember 2019 sekitar pukul setengah 9 malam, Mbak Pupuy kembali whatsaap saya. Katanya dia tidak menang. Malah banyak sekali catatan-catatan dari dewan juri. Yang megangetkan, tidak ada Pemenang 1, 2, dan 3. Hanya ada 9 pemenang harapan pilihan dewan juri.
Mbak Pupuy lalu mengirimkan saya foto-foto yang berisikan pertanggunganjawab dewan juri. Tapi saya kurang jelas bacanya, karena tulisannya kecil-kecil di foto itu. Intinya tidak ada pemenang, karena belum ada naskah yang ikut yang sesuai kriteria juri.
Dan ternyata, di facebook sudah ramai soal ini. Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara cerita anak DKJ ini membuat banyak teman-teman penulis cerita anak meradang. Saya pun ingin sekali ikut berkomentar, tapi saya belum berani, karena belum membaca lengkap pertanggungjawaban itu.
Akhirnya pagi ini saya menemukan link tulisannya langsung. Dan setelah saya baca berulang kali, maka izinkan saya menyikapi dari sudut pandang saya sebagai penulis cerita anak (walau pengalaman menulis saya masih seuprit). Saya sengaja copas langsung, lalu saya komentari langsung di bawah tiap poinnya ya, biar lebih mudah dipahami.
PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN JURI SAYEMBARA CERITA ANAK DEWAN KESENIAN JAKARTA 2019
Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak. Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.
Kalau soal ini, saya tidak setuju, ya. Saya mengibaratkan penulis di sini seperti pencipta lagu. Di Indonesia banyak sekali pencipta lagu hebat. Tapi tidak semua pencipta lagu bisa menulis ganre lagu. Si A, bisa membuat lagu-lagu bagus, tapi untuk orang dewasa, tidak bisa menulis lagu anak-anak. Jadi ada porsinya masing-masing.Mungkin ada satu dua yang bisa. Misalnya Eyang Titiek Puspa.
Sama dengan penulis di Indonesia. Banyak penulis bagus seperti yang dimaksudkan di atas, tapi belum tentu mereka bisa menulis cerita anak. Soalnya sesuai pengalaman saya (walau masih seuprit) menulis cerita anak itu tidak akan berhasil dengan hanya memiliki kecakapan seadaanya. Menulis cerita cerita anak butuh proses yang panjang, seperti yang saya alami sendiri.
Dulu itu, untuk cerita sepanjang 600-700 kata, saya sangat kesulitan, dan harus ditulis berhari-hari, bahkan ada yang tidak selesai. Namun dengan proses panjang, Alhamdulillah saya bisa menulis cerita 600-700 kata sekali duduk dalam waktu setengah jam saja.
Kalaupun para menulis-penulis habat itu sampai sekarang tidak menulis cerita anak, pastinya bukan karena mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Pastinya ada faktor-faktor yang membuat mereka tidak menulis cerita anak.
Misalnya mereka tidak tertarik menulis cerita anak, tidak ada waktu menulis cerita anak, lebih senang menulis ganre lain, bisa saja belum bisa menulis cerita cerita anak. Jadi kalimat, atau ada faktor-faktor lainnya.
Karena ditinggalkan oleh para penulis terbaiknya, dunia penulisan buku anak-anak kita tidak mampu melahirkan tokoh-tokoh fiksi yang bisa melekat dalam ingatan untuk waktu yang panjang, seperti misalnya Peterpan, Pippi si Kaus Kaki Panjang, Alice (dalam Alice in Wonderland), Lima Sekawan, atau belakangan Harry Potter. Mungkin si Doel adalah satu-satunya tokoh anak-anak yang paling kita ingat, tetapi anak-anak sekarang barangkali tidak membacanya. Bahasa yang digunakan oleh Aman Datuk Madjoindo dalam buku Si Doel Anak Djakarta niscaya sudah terasa aneh bagi anak-anak sekarang.
Menurut saya, ini memang semacam cambukan sekaligus tantangan. Bagi para penulis cerita anak untuk melahirkan sebuah tokoh seperti yang dimaksud di atas. Karena sesuai pengamatan saya, memang sampai saat ini, belum ada tokoh cerita anak yang ditulis sekarang yang sangat booming dikenal. Misalnya untuk cerita remaja itu ada tokoh Lupus punya Mas Hilman atau Si Roy punya Mas Gola Gong)
Saya lalu membayangkan mungkin untuk seperti Bolang Bocah Petualang yang sudah punya ciri khas ikat kepala dan ransel di punggung. Dan saya yakin, teman-teman penulis ada yang sudah membuat tokoh-tokoh sesuai kriteria yang dimaksud. Mungkin saat ini belum kuat melekat
Nah, untuk bisa membuat sebuah tokoh cerita itu melekat dalam ingatakan sepanjang waktu, perlu proses. Pippi, Alice, Lima sekawan, dan lainnya, saat ditulis, juga pasti tidak langsung melekat dan terkenal. Itu prosesnya panjang dengan publikasi secara terus menerus. Maka harapan saya, ada bantuan dari pihak-pihak terkait untuk buku-buku bacaan anak. Misalnya pajak yang tidak memberatkan penulis, bantuan promosi buku, dan sebagainya. Agar buku anak-anak Indonesia terus berkembang, dan akhirnya tokoh-tokoh unik, beda, dan berkarakter itu akan bermunculan dan melekat dalam ingatan sepanjang masa.
Hanya perlu digarisbawahi, para penulis terbaik cerita anak, tidak pernah meninggalkan cerita anak. Penulis-penulis hebat cerita anak yang saya kenal, sampai sekarang masih eksis. Penulis hebat yang dimaksud dewan juri, bahkan ‘mungkin’ ada yang belum pernah menulis cerita anak.
Di luar novel, pernah ada film boneka “Si Unyil” yang memberi kita banyak karakter yang tak terlupakan. Tetapi serial tersebut pelan-pelan ditinggalkan para penggemar kecilnya ketika mulai sering menyampaikan pesan-pesan pembangunan.
Ini salah satu warning bagus bagi penulis cerita anak Indonesia. Jadi pesan-pesan dalam cerita anak, memang harusnya berkisar seputar kehidupan atau dunia anak-anak. Tidak boleh dijejali dengan pesan-pesan memberatkan.
Anak-anak memerlukan karakter yang sehidup dan sekuat itu. Mereka perlu menikmati petualangan yang menyenangkan, menikmati dunia tanpa campur tangan orang dewasa yang gemar menasihati dan suka mengatur.
Ini maksudnya, biarkan anak-anak menikmati dunianya sendiri dan mengatasi masalahnya sendiri. Jadi konflik dalam cerita anak, memang harus diselesaikan oleh tokoh anak. Baik tokoh utama itu sendiri maupun dibantu oleh tokoh pendukung. Ibaratnyanya, masalah mereka, ya biarkan mereka yang menyelesaikan dengan caranya sendiri, sesuai dengan usia meraka.
Dengan latar belakang seperti itu, sayembara penulisan cerita anak-anak tahun ini, yang merupakan penyelenggaraan pertama oleh Dewan Kesenian Jakarta, bisa kita maknai sebagai ajakan untuk lebih memperhatikan mutu bacaan anak-anak. Ia meminta kita ikut berpikir bahwa, dalam urusannya dengan penumbuhan budaya membaca, setiap orang seharusnya mendapatkan buku-buku terbaik sejak dini usia mereka. Semua tahu itu, atau semua orang dewasa yang menginginkan anak-anak tumbuh sebagai pecinta buku tahu itu, namun mereka perlu juga diingatkan.
Saya setuju bagian ini. Diadakan sayembara ini, dimaknai sebagai ajakan untuk memperhatikan mutu bacaan anak. Tapi bukan berarti buku-buku anak sekarang tidak bermutu. Sebuah buku anak, selalu diusahakan dikerjakan dengan segenap jiwa raga, hinggak akhirnya sampai ke tangan anak-anak sebagai pembaca. Walau perlu digarisbawahi, tidak ada buku anak yang sempurna. Tapi Insya Allah semua buku anak yang ditulis bermanaat bagi anak-anak.
Kriteria Penjurian
Dewan juri sayembara cerita anak-anak Dewan Kesenian Jakarta 2019 menilai naskah para peserta dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
Pemandangan Umum atas Naskah-Naskah yang Masuk
Dari 198 naskah yang lolos seleksi administrasi oleh panitia, dewan juri mencatat bahwa secara umum kualitas naskah tidak menggembirakan. Dan ada satu catatan khusus: Delapan puluh persen dari jumlah itu bercerita tentang masa liburan ke rumah nenek atau kakek. Ini mengejutkan. Mereka seperti tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang pelajaran bahasa Indonesia di kelas 3 atau 4 SD. Bertahun-tahun kemudian, ketika masa itu sudah jauh terlewati, mereka masih tetap menulis cerita seolah-olah sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru saat mereka kembali dari liburan semester. Kegagalan mereka menemukan tema lain di luar liburan ke rumah nenek atau kakek mengindikasikan satu masalah serius: mereka tidak banyak membaca buku. Mereka seperti berangkat ke medan perang tanpa persenjataan dan amunisi.
Di bawah ini adalah catatan-catatan lebih rinci tentang sejumlah gejala yang kami temui selama masa penjurian:
Nah, demikian saya menyikapi pertanggungjawaban dewan juri sayembara anak ini. Sekali lagi ya, saya menyikapi dari sudut pandang sendiri, sesuai pengalaman menulis saya yang masih seuprit. Jadi bila ada perbedaan, anggap saja warna-warni menulis hehehe.
Intinya, catatab dari dewan juri ini sangat bagus dan membangun. Mereka menulis, karena memang lomba ini ada kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan sejak awal. Jadi saat meleset dari kriteria itu, maka akan ada perbedaan.
Sama saat saya ikut lomba membuat bakso. Padahal saya suka membuat bakso. Namun ternyata bakso saya jauh melenceng dari kriteria juri. Itu karena juri punya kriteria sendiri. Dan perlu digarisbawahi, saat ikut lomba, saya yang mengikuti selera juri, bukan juri mengikuti selera saya.
Catatan ini, bisa dijadikan masukan untuk teman-teman yang akan ikutan lagi tahun depan. Insya Allah saya akan ikut. Jadi kita berusaha dan berjuang, membuktikan pada dewan juri, kalau kita sebagai penulis cerita anak punya kecakapan menulis cerita anak. Hanya saja tahun ini belum berhasil memenuhi keinginan juri. Bisa saja karena memang baru pertama kali diadakan, jadi masih meraba-raba.
Yuk, terus bersemangat. Pertanggungjawaban juri lomba sayembara ini jangan membuat kita meradang sebagai penulis cerita anak. Apalagi sampai memuat down menulis. Ini hanya salah satu lika-liku dalam perjalanan menulis. Apalagi saya pribadi menilai, buku anak yang berhasil adalah yang bisa menyenangkan pembaca anak-anak, sekaligus terserap nilai-nilai cerita di dalamnya. Penulis akan bahagia, saat buku yang ditulisnya disukai oleh pembaca.
Salam semangat menulis, teman-teman
Bambang Irwanto
Wow.. saya langsung memberikan selamat pada Mbak Pupuy. Dalam bayangan saya, yang diundang itu biasanya yang menang lomba. Saya pun becandain Mbak Pupuy agar jangan lupa mentraktir saya bakso hahaha.
Malamnya, 4 Desember 2019 sekitar pukul setengah 9 malam, Mbak Pupuy kembali whatsaap saya. Katanya dia tidak menang. Malah banyak sekali catatan-catatan dari dewan juri. Yang megangetkan, tidak ada Pemenang 1, 2, dan 3. Hanya ada 9 pemenang harapan pilihan dewan juri.
Mbak Pupuy lalu mengirimkan saya foto-foto yang berisikan pertanggunganjawab dewan juri. Tapi saya kurang jelas bacanya, karena tulisannya kecil-kecil di foto itu. Intinya tidak ada pemenang, karena belum ada naskah yang ikut yang sesuai kriteria juri.
Dan ternyata, di facebook sudah ramai soal ini. Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara cerita anak DKJ ini membuat banyak teman-teman penulis cerita anak meradang. Saya pun ingin sekali ikut berkomentar, tapi saya belum berani, karena belum membaca lengkap pertanggungjawaban itu.
Akhirnya pagi ini saya menemukan link tulisannya langsung. Dan setelah saya baca berulang kali, maka izinkan saya menyikapi dari sudut pandang saya sebagai penulis cerita anak (walau pengalaman menulis saya masih seuprit). Saya sengaja copas langsung, lalu saya komentari langsung di bawah tiap poinnya ya, biar lebih mudah dipahami.
PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN JURI SAYEMBARA CERITA ANAK DEWAN KESENIAN JAKARTA 2019
Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak. Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.
Kalau soal ini, saya tidak setuju, ya. Saya mengibaratkan penulis di sini seperti pencipta lagu. Di Indonesia banyak sekali pencipta lagu hebat. Tapi tidak semua pencipta lagu bisa menulis ganre lagu. Si A, bisa membuat lagu-lagu bagus, tapi untuk orang dewasa, tidak bisa menulis lagu anak-anak. Jadi ada porsinya masing-masing.Mungkin ada satu dua yang bisa. Misalnya Eyang Titiek Puspa.
Sama dengan penulis di Indonesia. Banyak penulis bagus seperti yang dimaksudkan di atas, tapi belum tentu mereka bisa menulis cerita anak. Soalnya sesuai pengalaman saya (walau masih seuprit) menulis cerita anak itu tidak akan berhasil dengan hanya memiliki kecakapan seadaanya. Menulis cerita cerita anak butuh proses yang panjang, seperti yang saya alami sendiri.
Dulu itu, untuk cerita sepanjang 600-700 kata, saya sangat kesulitan, dan harus ditulis berhari-hari, bahkan ada yang tidak selesai. Namun dengan proses panjang, Alhamdulillah saya bisa menulis cerita 600-700 kata sekali duduk dalam waktu setengah jam saja.
Kalaupun para menulis-penulis habat itu sampai sekarang tidak menulis cerita anak, pastinya bukan karena mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Pastinya ada faktor-faktor yang membuat mereka tidak menulis cerita anak.
Misalnya mereka tidak tertarik menulis cerita anak, tidak ada waktu menulis cerita anak, lebih senang menulis ganre lain, bisa saja belum bisa menulis cerita cerita anak. Jadi kalimat, atau ada faktor-faktor lainnya.
Karena ditinggalkan oleh para penulis terbaiknya, dunia penulisan buku anak-anak kita tidak mampu melahirkan tokoh-tokoh fiksi yang bisa melekat dalam ingatan untuk waktu yang panjang, seperti misalnya Peterpan, Pippi si Kaus Kaki Panjang, Alice (dalam Alice in Wonderland), Lima Sekawan, atau belakangan Harry Potter. Mungkin si Doel adalah satu-satunya tokoh anak-anak yang paling kita ingat, tetapi anak-anak sekarang barangkali tidak membacanya. Bahasa yang digunakan oleh Aman Datuk Madjoindo dalam buku Si Doel Anak Djakarta niscaya sudah terasa aneh bagi anak-anak sekarang.
Menurut saya, ini memang semacam cambukan sekaligus tantangan. Bagi para penulis cerita anak untuk melahirkan sebuah tokoh seperti yang dimaksud di atas. Karena sesuai pengamatan saya, memang sampai saat ini, belum ada tokoh cerita anak yang ditulis sekarang yang sangat booming dikenal. Misalnya untuk cerita remaja itu ada tokoh Lupus punya Mas Hilman atau Si Roy punya Mas Gola Gong)
Saya lalu membayangkan mungkin untuk seperti Bolang Bocah Petualang yang sudah punya ciri khas ikat kepala dan ransel di punggung. Dan saya yakin, teman-teman penulis ada yang sudah membuat tokoh-tokoh sesuai kriteria yang dimaksud. Mungkin saat ini belum kuat melekat
Nah, untuk bisa membuat sebuah tokoh cerita itu melekat dalam ingatakan sepanjang waktu, perlu proses. Pippi, Alice, Lima sekawan, dan lainnya, saat ditulis, juga pasti tidak langsung melekat dan terkenal. Itu prosesnya panjang dengan publikasi secara terus menerus. Maka harapan saya, ada bantuan dari pihak-pihak terkait untuk buku-buku bacaan anak. Misalnya pajak yang tidak memberatkan penulis, bantuan promosi buku, dan sebagainya. Agar buku anak-anak Indonesia terus berkembang, dan akhirnya tokoh-tokoh unik, beda, dan berkarakter itu akan bermunculan dan melekat dalam ingatan sepanjang masa.
Hanya perlu digarisbawahi, para penulis terbaik cerita anak, tidak pernah meninggalkan cerita anak. Penulis-penulis hebat cerita anak yang saya kenal, sampai sekarang masih eksis. Penulis hebat yang dimaksud dewan juri, bahkan ‘mungkin’ ada yang belum pernah menulis cerita anak.
Di luar novel, pernah ada film boneka “Si Unyil” yang memberi kita banyak karakter yang tak terlupakan. Tetapi serial tersebut pelan-pelan ditinggalkan para penggemar kecilnya ketika mulai sering menyampaikan pesan-pesan pembangunan.
Ini salah satu warning bagus bagi penulis cerita anak Indonesia. Jadi pesan-pesan dalam cerita anak, memang harusnya berkisar seputar kehidupan atau dunia anak-anak. Tidak boleh dijejali dengan pesan-pesan memberatkan.
Anak-anak memerlukan karakter yang sehidup dan sekuat itu. Mereka perlu menikmati petualangan yang menyenangkan, menikmati dunia tanpa campur tangan orang dewasa yang gemar menasihati dan suka mengatur.
Ini maksudnya, biarkan anak-anak menikmati dunianya sendiri dan mengatasi masalahnya sendiri. Jadi konflik dalam cerita anak, memang harus diselesaikan oleh tokoh anak. Baik tokoh utama itu sendiri maupun dibantu oleh tokoh pendukung. Ibaratnyanya, masalah mereka, ya biarkan mereka yang menyelesaikan dengan caranya sendiri, sesuai dengan usia meraka.
Dengan latar belakang seperti itu, sayembara penulisan cerita anak-anak tahun ini, yang merupakan penyelenggaraan pertama oleh Dewan Kesenian Jakarta, bisa kita maknai sebagai ajakan untuk lebih memperhatikan mutu bacaan anak-anak. Ia meminta kita ikut berpikir bahwa, dalam urusannya dengan penumbuhan budaya membaca, setiap orang seharusnya mendapatkan buku-buku terbaik sejak dini usia mereka. Semua tahu itu, atau semua orang dewasa yang menginginkan anak-anak tumbuh sebagai pecinta buku tahu itu, namun mereka perlu juga diingatkan.
Saya setuju bagian ini. Diadakan sayembara ini, dimaknai sebagai ajakan untuk memperhatikan mutu bacaan anak. Tapi bukan berarti buku-buku anak sekarang tidak bermutu. Sebuah buku anak, selalu diusahakan dikerjakan dengan segenap jiwa raga, hinggak akhirnya sampai ke tangan anak-anak sebagai pembaca. Walau perlu digarisbawahi, tidak ada buku anak yang sempurna. Tapi Insya Allah semua buku anak yang ditulis bermanaat bagi anak-anak.
Kriteria Penjurian
Dewan juri sayembara cerita anak-anak Dewan Kesenian Jakarta 2019 menilai naskah para peserta dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
- Keunggulan berbahasa dan ketangkasan bercerita. Ini syarat penting, sebab orang tidak mungkin melahirkan cerita yang menarik tanpa keunggulan berbahasa, dan cerita akan cenderung bertele-tele tanpa ketangkasan bercerita.
Kalau ini saya setuju sekali. Karena cara bercerita yang lancar dan memikat, akan membuat pembaca terus membaca cerita itu. Hanya catatannya, karena ini ceita anak, gaya berceritanya juga disesuaikan dengan anak-anak. Paling bagus dari sudut pandang tokoh dalam cerita. - Kemampuan menciptakan karakter yang membuat pembaca anak-anak bisa menyukainya , bersimpati, atau mengidentifikasi diri dengannya. Dengan karakter semacam ini, pembaca akan bisa menikmati petualangan yang ditawarkan dan mendapatkan pengalaman baru seusai pembacaan.
Ini catatan bagus. Karkater tokoh anak dalam cerita, harus bisa membuat pembaca anak-anak menyukai dan bersimpati pada tokoh itu. Karena kalau dua poin itu sudah didapat, maka pembaca akan terus ingin mengikuti kisah tokoh dalam cerita. Nah, tugas kita, bagaimana caranya membuat karakter tokoh dengan dua poin itu. - Beres secara keperajinan, baik di tingkat kata, kalimat, maupun paragraf. Penulis mampu memilih kosakata yang tepat untuk pembacanya, mampu mengkomposisikan semua elemen penulisan secara baik. Ia mampu mengatur nada, irama, menyusun kalimat, dan menyeleksi detail yang paling relevan untuk ditampilkan.
Poin ini lebih pada penekanan kesuaian untuk anak-anak. Misalnya saya sering membaca cerita anak yang penggunaan kata-katanya terlalu dewasa. - Memahami aspek metaforis suatu cerita. Ia boleh mengajarkan nilai-nilai, pengetahuan, cara hidup ‘yang semestinya’ di tengah masyarakat, atau hal-hal lain yang dianggap penting untuk disampaikan kepada anak-anak, tetapi pesan hanya disampaikan tersirat melalui cerita yang menarik dan bukan melalui petuah langsung dalam bentuk apa pun.
Setuju dengan ini. Pesan dalam cerita anak itu, memang harus tersirat, atau paling tidak diucapkan oleh anak dalam cerita.
Pemandangan Umum atas Naskah-Naskah yang Masuk
Dari 198 naskah yang lolos seleksi administrasi oleh panitia, dewan juri mencatat bahwa secara umum kualitas naskah tidak menggembirakan. Dan ada satu catatan khusus: Delapan puluh persen dari jumlah itu bercerita tentang masa liburan ke rumah nenek atau kakek. Ini mengejutkan. Mereka seperti tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang pelajaran bahasa Indonesia di kelas 3 atau 4 SD. Bertahun-tahun kemudian, ketika masa itu sudah jauh terlewati, mereka masih tetap menulis cerita seolah-olah sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru saat mereka kembali dari liburan semester. Kegagalan mereka menemukan tema lain di luar liburan ke rumah nenek atau kakek mengindikasikan satu masalah serius: mereka tidak banyak membaca buku. Mereka seperti berangkat ke medan perang tanpa persenjataan dan amunisi.
Di bawah ini adalah catatan-catatan lebih rinci tentang sejumlah gejala yang kami temui selama masa penjurian:
- Secara umum para peserta sayembara ini tidak menulis untuk anak-anak, tetapi menulis tentang anak-anak. Hal ini terlihat dari diksi, suara narator, dan pandangan dunia orang dewasa yang menyusup ke dalam penceritaan. Dengan semua itu, deskripsi mereka tentang peristiwa, tentang suasana, atau, yang paling lazim, tentang emosi-emosi para tokohnya menjadi jauh dari tipikal anak-anak. Tokoh anak-anak di dalam cerita menjadi tidak wajar dan, karena itu, tidak meyakinkan sebagai anak-anak. Hanya sedikit dari peserta yang mampu bercerita untuk anak-anak, tetapi mereka tidak memiliki cerita menarik.
Ini maksudnya, harus bercerita dari sudut pandang dan gaya anak-anak. Makanya di kelas Kurcaci Pos, saya selalu mengingatkan, saat menulis cerita anak, usahakan sudah bermetamorfosis jadi anak-anak. Jadi kita seperti anak-anak yang bercerita pada teman-teman.
Soalnya memang, masih banyak teman saat menulis cerita anak, masih memposisikan dirinya sebagai orang dewasa. Akhirnya seperti maksud di atas. Penceritaan dari sudut pandang orang dewasa. Seolah-olah orang dewasa masuk ke tubuh anak-anak. Akhirnya karakter anak-anak dalam cerita tidak natural.
- Rata-rata peserta memiliki stamina yang tinggi dalam menulis. Karya-karya mereka kebanyakan cukup tebal atau bahkan sangat tebal untuk ukuran anak-anak (ada yang sampai 340 halaman). Bisa dikatakan ketebalan rata-rata naskah di atas 100 halaman. Mereka seolah meyakini bahwa karya yang baik adalah atau selayaknya banyak halamannya; dan novel yang tipis terasa tidak meyakinkan dan niscaya tidak bagus.
Jadi setiap cerita anak itu ada porsinya masing-masing. Beda usia beda porsi. Cerita dan novel anak pastinya beda porsi. Apalagi novel anak dan novel dewasa.
barat porsi makanan, maka berikanlah anak-anak porsi yang sesuai dan pas. Anak-anak porsi makannya sepiring (100 halaman). Jadi kalau diberi 2-3 piring (340 halaman) pasti tidak bisa dicerna oleh anak-anak. Hal ini juga menegaskan, tulislah sesuatu yang pas dan sesuai untuk pembaca. - Stamina tinggi tersebut, sayangnya, tidak diimbangi dengan keperajinan yang memadai. Kecakapan mereka, kesanggupan menyusun kalimat, penguasaan tata bahasa, dan kemampuan membangun komposisi masih belum cukup untuk menghasilkan cerita yang beres, apalagi memikat pembaca anak-anak. Karena itu, rata-rata naskah hanya tulisan dengan tujuan memperpanjang teks, demi memenuhi angka di atas 100 halaman.
Cerita anak itu harus padat. Maksud juri banyak para peserta yang terlalu bermain-main dengan kata dengan mengulur-ngulur. Padahal maksudnya sama. Ini sama misalnya, sebenarnya cerita itu bisa ditulis dalam 300 kata, tapi diulur-ulur sampai 600 kata. Akhirnya renggang. Padahal bisa dipadatkan jadi 300 kata. Dan tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Di Kelas Kurcaci, saya selalu memberi tugas 600-700 kata. Dan masih banyak yang panjang bercerita, tapi renggang isinya. - Semua peserta bahkan seperti tidak peduli atau tidak memikirkan bagaimana cara membuka cerita secara patut. Hampir semua, misalnya, membuka cerita dengan detail-detail yang tidak perlu. Mungkin saja rincian-rincian tersebut layak dipaparkan, tetapi cukup buruk bila ia disajikan di bagian awal sehingga berisiko membuat pembacanya (anak-anak) sejak awal sudah terintimidasi dengan sajian panjang-lebar yang melelahkan mengenai tempat-tempat, nama-nama, dan hal-hal lainnya yang bertele-tele sebagai pembuka cerita.
Info-info penting dalam cerita anak perlu dimasukkan. Tapi tidak harus semua dibeberkan langsung satu tempat. Bisa diselip-selipkan, baik dalam dialog maupun
Misalnya :
“Benteng Van Der Wijck masih kokohnya?”
“Iya, padahal dibangun tahun 1828.”
Wina menarik tangan Rastri untuk segera memasuki Bneteng Van Der Wijk yang dibangun tahun 1828 itu. - Tidak ada satu pun peserta yang mampu menciptakan karakter yang kuat, yang mengesankan, atau yang layak diingat karena sikap dan tindakan-tindakannya, meskipun hal-hal tersebut tidak niscaya harus yang bersifat moralistik.
Poin ini termasuk cambukan dan tantangan juga. Ini beberapa kali ditekankan oleh Dewan Juri. Untuk cerita pendek, memang karakter tokoh tidak perlu ditampilkan semua, karena memang jatah ruangnya terbatas. Namun untuk novel yang menyediakan ruang sangat banyak, maka karakter tokoh memang harus dieksplor. Ibaratnya dalam jatahnya itu (misalnya 100 halaman), pembaca jadi tau karakter tokoh seutuhnya. - Dialog merupakan kelemahan pada semua naskah. Para peserta tampaknya tidak membedakan antara dialog dalam fiksi dan transkrip percakapan sehari-hari. Akibatnya, dialog dalam cerita-cerita mereka secara umum membosankan.
Jujur ini saya agak bingung dengan dialog dalam fiksi dan transkrip percakapan sehari-hari. Seperti yang sering saya tuliskan, pengalaman dan ilmu menulis saya masih seuprit. Namun dengan begitu, saya ingin terus belajar.
Tapi dari hasil browsing saya, dialog dalam fiksi itu, tidak sekedar percakapan antara tokoh, tapi juga memasukkan info-info terkait seputar cerita. Jadi percakapan tidak membosan seperti yang dikatakan juri. Dan akhirnya dialog itu jadi kekuatan dalam cerita
Misalnya : “Bendungan Pelangi ini memang besar. Soalnya berada di antara dua desa, Serayu dan Malika,” jelas Andi sambil mulai menuruni jalaanan menurun menuju bawah bendungan. - Di sisi lain tidak sedikit peserta yang terlalu bernafsu menjejalkan nasihat atau ajaran-ajaran moralistik (khususnya moralitas religius) kepada pembacanya. Semangat semacam ini tentu luhur belaka, tetapi mengandung risiko tinggi bahwa ia akan membuat anak-anak bosan oleh cara dan isi yang klise. Apalagi penyajiannya lebih bersifat menyatakan, bukan menunjukkan (telling, not showing).
Ini catatan bagus yang wajib diterapkan saat menulis cerita anak. Jadi jangan menjejali cerita dengan nasihat ini itu. Apalagi kalau disampaikan dari ucapan langsung tokoh orang dewasa. Kemudian cerita anak itu bagusnya showing menunjukkan, bukan telling menyatakan.
Conttohnya :
Benteng Van Der Wick itu benteng bersejarah (Telling)
Benteng Van Der Wick adalah benteng peninggalan Belanda. Dibangun tahun 1982. Bentungnya persegi delapan dan berdinding bata merah. Benteng ini dulunya dipakai sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda (Showing)
"Budi itu anak yang rajin, lho!"
"BUdi itu tiap pagi bangun jam 5 subuh. Setrelah salat, dia lalu membantu ibunya membuat mengisi bak mandi, lalu memberi makan ayam peliharaannya. Saat bernagkat sekolah, Budi juga menitipkan kue buatan Ibunya di warung." - Beberapa karya menunjukkan prospek yang cukup baik, seperti terlihat di bagian awal cerita. Dengan kalimat yang beres dan paragraf pendek-pendek, mereka menunjukkan pemahaman tentang daya tahan anak-anak dalam membaca. Tapi dari segi substansi cerita, karya-karya yang memenuhi kualifikasi ini pun tidak cukup kuat sebagai cerita. Sedangkan beberapa lainnya terasa benar sebagai karya terjemahan atau setidak-tidaknya saduran, seperti terlihat dari fraseologi atau pola gramatikal yang kurang lazim dalam bahasa Indonesia, juga pada nama-nama tempat dan tokoh-tokohnya. Tentu latar-belakang “asing” tidak terlarang. Masalahnya: keasingan latar-belakang itu lebih mencerminkan asal-usul naskah (asli), bukan demi menyajikan kekuatan cerita.
Ini sebenarnya diterapkan pada semua cerita anak. Jadi kalimat-kalimat cerita anak memang tidak perlu panjang-panjang. Jadi jangan sampai membuat anak-anak ngos-ngosan membaca. Dan berhasil memikat juri memang yang paragraf pendek-pendek.
Nah, demikian saya menyikapi pertanggungjawaban dewan juri sayembara anak ini. Sekali lagi ya, saya menyikapi dari sudut pandang sendiri, sesuai pengalaman menulis saya yang masih seuprit. Jadi bila ada perbedaan, anggap saja warna-warni menulis hehehe.
Intinya, catatab dari dewan juri ini sangat bagus dan membangun. Mereka menulis, karena memang lomba ini ada kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan sejak awal. Jadi saat meleset dari kriteria itu, maka akan ada perbedaan.
Sama saat saya ikut lomba membuat bakso. Padahal saya suka membuat bakso. Namun ternyata bakso saya jauh melenceng dari kriteria juri. Itu karena juri punya kriteria sendiri. Dan perlu digarisbawahi, saat ikut lomba, saya yang mengikuti selera juri, bukan juri mengikuti selera saya.
Catatan ini, bisa dijadikan masukan untuk teman-teman yang akan ikutan lagi tahun depan. Insya Allah saya akan ikut. Jadi kita berusaha dan berjuang, membuktikan pada dewan juri, kalau kita sebagai penulis cerita anak punya kecakapan menulis cerita anak. Hanya saja tahun ini belum berhasil memenuhi keinginan juri. Bisa saja karena memang baru pertama kali diadakan, jadi masih meraba-raba.
Yuk, terus bersemangat. Pertanggungjawaban juri lomba sayembara ini jangan membuat kita meradang sebagai penulis cerita anak. Apalagi sampai memuat down menulis. Ini hanya salah satu lika-liku dalam perjalanan menulis. Apalagi saya pribadi menilai, buku anak yang berhasil adalah yang bisa menyenangkan pembaca anak-anak, sekaligus terserap nilai-nilai cerita di dalamnya. Penulis akan bahagia, saat buku yang ditulisnya disukai oleh pembaca.
Salam semangat menulis, teman-teman
Bambang Irwanto
Terima kasih ulasannya,Pak. Kadang saya juga terlalu ambisi menjejalkan pesan moral. Malah ambyar ...
ReplyDeleteSama-sama, Mbak Nia.
DeleteAyo, terus semangat menulis, Mbak.
Jadi pesan anak cukup sesuai porsinya saja. Agar pesan yang ingin kita sampaikan, bisa diserap oleh pembaca anak.
Ulasannya keren mas. Saya sempat ngerasa gimana gitu waktu membaca postingan teman-teman. Sebagai penulis pemula jadi ngerasa down. Tapi nggak boleh kelamaan. Belajar lagi dan nulis lagi. Sambil menunggu tukang bakso lewat.
ReplyDeleteBenar sekali, Mbak Utari.
DeleteBoleh marah dengan pernyataaan dewan juri, tapi jangan sampai down. Ambil poin-poin yang membangun. Dan jadikan cambuk untuk terus bersemangat menulis, Mbak Utari.
Sulit sekali loh menulis cerita anak itu. Aku sebenarnya punya ketertarikan untuk belajar lebih dalam, tapi belum berani komitmen seperti ikutan Krlas Kurcaci ya mas.. semoga segera deh bisa bergabung
ReplyDeleteIya, Mbak kartika. Karena banyak sekali elemen-elemen yang harus dipenuhi yang mungkin tidak terdapat saat menulis cerita lain. Jadi menulis cerita anak, perlu kecakapan yang mumpuni juga.
DeleteAyo, mulai menulis, Mbak. Jadi selalu ada langkah awal, untuk langkah selanjutnya. Jadi kalau tidak menulis cerita anak dari sekarang, kapan lagi, kan? hehehe.
Setelah membaca tanggapan dari Pak Bambang sekarang saya jadi tahu dan paham duduk persoalan berita yg lagi viral ini. Mksh sharringnya ya..
ReplyDeleteIya, Mbak Rota.
DeleteJadi teman-teman penulis itu mempersoalkan bagian awal saja yang menyatakan para penulis bagus di negeri ini merelakan cerita anak ditulis oleh orang yang tidak mempunyai kemampuan menulis cerita anak.
Sama-sama, Mbak Rita.
Akhirnya baca versi lengkap pertanggungjawaban juri. Sepakat sama Mbak Dian, sebetulnya isi kritiknya ini sih masukan yang nggak salah. Cuma kalau gebyah uyah ini yang payah. Kepikir sih, kayak Mbak Dian, Mbak Watiek, Kang Ben, dll, apa emang pada nggak ikut ya?
ReplyDeleteIya, Mbak Ika. Jadi memang para juri tidak mengenal banyak para penulis cerita anak hebat di negeri ini. Jadi patokannya ya dari naskah yang masuk saja.
DeleteSemoga 2020 bisa Istiqomah lagi menulis dan menerbitkan buku anak, Bismillah..paragraf pertama memang biang keroknya hihi, setiap penulis punya minat dan spesialisasinya sendiri..
ReplyDeleteAyo, kita terus semangat menulis, Mbak Dedew. Biar dunia menulis cerita anak semakin berkembang dan penulisnya semakin diakui hehehe.
DeleteIya, paragraf awal bikin kita ngerah ya, Mbak. Jadi pengin makan lunpia sepiring hahaha.