Salah satu favorit keluarga saya adalah serabi. Bukan surabi
yang pakai kuah, ya, tapi serabi yang biasa. Paling topingnya gula merah. Dan
ada langganan serabi di Gombong yang enak. Letaknya di pertigaan jalan gereja
dan sapta marga. Saya itu langganan sejk harganya masih 1000 per biji. Jadi
kalau 1 tangkup isi 2 biji harganya 2 ribu.
Dokpri |
Makanya pas mudik lebaran kemarin, saya pun tidak mau melewatkan untuk kembali menikmati serabi. Apalagi sudah hampir setahun saya tidak menikmatinya. Kapan lagi kan.... Makanya sudah masuk daftar list hehehe gayane saya ini.
Kehabisan di Hari Pertama
Saya berangkat dari Depok itu di hari lebaran kedua,
tepatnya minggu, 23 April 2023, dan Alhamdulillah tiba di Gombong malam hari.
Nah, besoknya, Perburuan serabi pun dimulai. Sayangnya, di hari pertama, saya
kehabisan. Sebabnya saya agak kesiangan ke sana sekitar pukul 7 pagi. Apalagi
masih libur lebaran. Pastinya bukan saja saja yang ingin menikmati serabi.
Padahal saat masih tinggal di Gombong, saya sudah paham,
kalau ingin menikmati serabi harus paling lambat datang pukul 6 pagi. Banyak
yang suka, karena serabi nya enak. Rahasianya, beras setelah direndam langsung
digiling di pasar. Jadi bukan bermalam yang bisa membuat rasa serabinya asem.
Terus masih menggunakan cetakan tanah liat. Masih
menggunakan kayu bakar juga. Jadi aroma nya mantap. Itu kalau disantap dengan
teh hangat di pagi hari, nikmatnya hehehe. Bahkan kalau tidak habis, bisa
disimpan di kulkas dulu. Besoknya bisa dikukus kembali.
Berburu Serabi Kembali
Tak mau kecewa, di hari kedua, saya pun kembali berburu
serabi. Kali ini selepas subuh, saya sudah jalan. Jalanan masih gelap dan udara
dingin. Rela.. rela.. aku rela demi serabi. Halah.. lebay hahaha.
Tapi ternyata... penjual serabinya belum buka hahaha. Daripada
lama nunggu, saya memutuskan ke pasar pagi wonokriyo dulu. Kebetulan orang
rumah ada yang mau nasi kuning, terus beli tetelan untuk kuah bakso dan
beberapa titipan lain.
Agar mendapat serabi, saat di pasar saya belanjanya super
cepat. Pindah dari satu penjual ke penjual lain dengan cepat. Persis kayak kutu
loncat wkwkwkw. Tapi.. Pas kembali ke
penjual serabi, itu sudah antre hahaha. Karena tanggung, akhirnya saya nunggu. Akhirnya,
baru 2 jam saya kebagian giliran.
Sistem Antrean yang Kurang Pas
Saat membeli serabi kemarin, ada sedikit perubahan. Ternyata
tunggu tanah liat yang menggunakan kayu, sudah diganti dengan kompor gas 2
mata. Sebenarnya tidak masalah sih... Nah yang jadi masalah adalah, sistem
antreannya yang bikin sedikit kacau hahaha.
Jadi kalau saya kemarin dan beberapa orang memilih antre
menunggu giliran di tempat. Tapi kebanyakan orang, mensiasati giliran dengan di
tinggal. Ada yang langsung bayar, ada juga yang belum.
Si Ibu penjual serabi pun menjejer uang pembeli yang
ditinggal lagi sebagai urutan. Akhir semakin lama semakin lama juga antreannya.
Belum lagi yang antre menunggu.
Saya pun sebagai pelanggan lama mulai mengusulkan, kalau
besok pakai nomor antrean saja. Jadi ketahuan, sekarang nomor berapa yang harus
dilayani. Terus kalau lagi susasana ramai seperti libur lebaran, jangan ada
titip menitip dulu. Lebih didulukan yang setia menunggu di tempat.
Tapi si ibu bersikeras kalau dia hapal kok urutan
antreannya. Awalnya sih lancar lama-lama dia bingung juga. Siapa dulu nih? Siapa
dulu nih, gilirannya? Akhirnya saya dan seorang ibu berkali-kali mengingatkan
urutan antrean. Tapi khusus yang menunggu di tempat. Ururan antrean yang pun
terlupakan hahaha.
Akhirnya pas yang tinggalin duit datang, pesanan belum siap.
Ada yang batal beli dan uangnya dikembalikan. Ada yang protes. Yang belum kasih
uang, ya langsung pergi saja hehehe.
Mempertahankan Boleh, Perubahan Wajib
Mempertahan rasa serabi pastiya harus. Karena itulah yang membuat
pelanggan terus berdatangan. Tapi mempertahankan cara antrean seperri itu, saya
rasa tidak bisa lagi. Harus mengikuti sesuatu juga. Misalnya pakai nomor
antrean.
Makanya saja amati, usaha apapun, harus dipegang sesuai
generasinya. Jadi generasi penerus usaha ini bisa menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Rasa tetap dipertahan. Nah, kemasan, tempatnya, cara
pembelian disesuaikan. Inilah yang membuat suatu usaha maju dan terus
berkembang.
Bambang Irwanto
Hmmm, perlunya mendengarkan masukan ya Pak Bambang. Sayang banget, si Ibu udah larih manis, tapi karena sistem antriannya begitu jadi ada beberapa yang gak jadi beli. Kan sayang banget. Semoga si Ibu lekas berbenah, ya.
ReplyDelete